Posts

Showing posts from 2019

Apa yang "Real" dari Realitas?

Image
Image Source: time.com Sebuah kutipan dialog dalam film Spider-man: Far from Home  membuat jiwa ilmu komunikasi saya bergetar. Tepatnya, saat MJ merespons ucapan Brad, teman sekelasnya, yang sedang mengomel tentang Peter Parker dalam rombongan. " The very concept of objective truth is fading out of the world, " celetuk MJ. Brad lantas menimpali MJ, "George Orwel. Thank you , MJ." Lebih kurang, terjemahan kutipan George Orwel yang dipinjam MJ itu adalah "Konsep dari kebenaran objektif memudar dari dunia". Saya jadi teringat dengan gagasan Berger dan Luckmann (1996) tentang konstruksi sosial atas realitas yang saya pelajari dalam kelas Sosiologi Komunikasi. Singkatnya, pandangan konstruksi sosial menyatakan bahwa tidak ada realitas tunggal yang paling benar, semua realitas dikonstruksi secara sosial. Bungin (2014) lalu mengelaborasi bahwa konstruksi sosial dipandang sebagai proses kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada. Ses

Sudah Dipanggil "Om"

Pagi itu mengubah segalanya. Membuatku kembali merenungkan esensi dari perubahan. Aku bangun pagi, pergi ke wihara, dan naik lift untuk menuju ruang ibadah di lantai lima. Di lift itu, ada seorang ibu dengan anaknya yang masih balita kelihatannya. Kulempar sebuah senyuman ke arah mereka. "Halo, Adik... Sekolah minggu ya?" ujarku pada anak kecil itu. Kemudian kudengar ibunya menyuruh anaknya menjawab pertanyaanku, "Tuh, ditanya sama Om. Jawab, dong... 'Iya, Om mau sekolah minggu,'" jawab ibunya kembali tersenyum. Sejak mendengar itu, aku jadi merenung. Ternyata sudah setua itu, ya... Perasaan dulu kalau ada anak kecil, aku masih dipanggil Koko, sekarang sudah ada yang panggil Om. Memang hidup itu dinamis, tidak statis. Kalau bahasa dalam agama Buddha, hidup itu annica , alias tidak kekal. Selalu ada perubahan yang terjadi dalam hidup, bahkan dalam hitungan detik. Tidak usah perubahan yang besar, bahkan perubahan yang kecil dan tak tampak pun terjadi

Pernah Terucap dari Bibirnya

Ada orang yang tersinggung dibilang hitam, tapi pernah terucap dari bibirnya, "Kok mukanya tua banget, ya?" Ada orang yang marah dibilang gendut, tapi pernah terucap dari bibirnya, "Eh, ternyata dia buncit!" Ada orang yang tidak mau dibilang pendek, tapi pernah terucap dari bibirnya, "Lihat deh, dia ceking banget!" Ada orang yang tidak mau dibilang pesek, tapi pernah terucap dari bibirnya, "Jidatnya lebar banget kayak lapangan bola!" Terdengar sepele, tapi apa yang pernah terucap dari bibir mampu menjelma menjadi bisa berbahaya, membuat siapa saja yang mendengar jadi nyelekit rasanya. Karena cibiran-cibiran itu, ada orang yang jadi maksa pengin putih, pengin langsing, pengin mancung, pengin berisi, tapi mereka tidak nyaman melakukannya. Mereka mengidolakan sesuatu karena lingkungan sosialnya menuntut demikian. Tubuh ini seolah-olah bukan lagi miliknya ketika ia maksa pengin ini, pengin itu.  Bukankah tubuh ini milik kita, bukun milik m

Tidak Pantas Mengeluh

Mendengar cerita dari Sherly Dermawan, temanku yang berkuliah di jurusan kedokteran, membuatku berpikir kembali jika ingin mengeluh. Beban kuliah di jurusanku, tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan beban kuliah di jurusannya. Bayangkan saja, Sherly dan teman-temannya di jurusan kedokteran harus mengikuti ujian setiap 10 hari sekali. Sistem kuliah mereka bukan per SKS, melainkan per blok. Satu blok khusus membahas satu organ tertentu dan biasanya diselesaikan dalam 1,5 bulan. Dalam satu semester, mereka normalnya menempuh 3-4 blok, DENGAN UJIAN SETIAP 10 HARI SEKALI.  Belum lagi saat mereka harus mengikuti ujian lisan dengan topik acak. Materinya adalah semua blok yang sudah dipelajari selama satu tahun. Mau tidak mau, mereka harus menguasai semua blok selama satu tahun, lebih kurang 7-8 blok karena akan diundi secara acak dan dipresentasikan di depan dokter. Mereka harus menguraikan sedetail mungkin mulai dari nama medis, penyebab, gejala, reaksi, dan segala tetek bengekny

Doa Seorang Guru

Beberapa waktu lalu, ketika libur semester, aku berkunjung ke sekolahku. Di sana, aku bertemu dengan banyak guru-guru.  Mereka tampak antusias dengan kedatanganku. Namun sayang, karena aku  datang sore hari, sudah banyak guru-guru yang pulang. Tapi tak mengapa, satu per satu kusalami mereka. Ada satu guru yang cukup berkesan bagiku. Namanya Ibu Mulyani, guru bahasa Indonesia. Ketika SMA, aku paling suka pelajaran bahasa Indonesia, apalagi ketika diajar oleh Ibu Mulyani.  Ia sosok yang baik, semangat, ceria, dan lucu. Sehingga, aku paling aktif dan antusias setiap pelajaran bahasa Indonesia. Terlebih-lebih ketika materinya berkaitan dengan berita, surat pembaca, editorial, dan konten berbau jurnalistik. Maklum, ketika SMA aku ketua ekskul jurnalistik. Aku ingat jelas, ketika itu aku masih menggebu-gebu ingin menjadi jurnalis. Setiap ada guru yang menyakan padaku tentang cita-cita, selalu kujawab, "jurnalis!". Sore itu, ketika aku menyalami Ibu Mulyani, kami bercerita si

Kasih

Karya Wirawan @wirawanchen _________________ Kasih menyelinap ke dalam wihara dengan nama metta dan karuna. Kasih bersemayam di gereja dengan nama agape dan phileo. Kasih menetap di dalam masjid dengan nama rahmah dan rahim.  Kasih menyelimuti pura dengan nama maitri.  Ketika ada jemaat yang marah-marah, mereka belum mengenal rahmah.  Ketika ada jemaat yang saling mendengki, mereka belum mengenal maitri. Ketika ada jemaat yang semana-mena, mereka belum mengenal karuna. Ketika ada jemaat yang hatinya berapi, mereka belum mengenal agape.  Sudahkah kamu berkenalan dengan Kasih?

Mencari Topik Penelitian Itu Susah

Saya harus mengakui, mencari topik penelitian itu susah. Apalagi topik penelitian di semester ini harus dirancang dengan pendekatan kualitatif. Terus terang saja, saya masih belum punya gambaran tentang metodologi penelitian kualitatif, seperti apa alur kerjanya, apa saja tekniknya, dan bagaimana penyajiannya. Mungkin karena baru pertemuan kedua.  Hampir semua dosen ilmu komunikasi sepakat, penelitian kualitatif memang cenderung lebih kompleks dan rumit daripada penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif umumnya lebih sederhana, tahap-tahapannya pun sudah jelas.   Kita hanya perlu menentukan variabel, membuat hipotesis, membangun kerangka teori, mengoperasionalisasi variabel, mengumpulkan data, menganalisis data, dan memberikan kesimpulan apakah menerima atau menolak hipotesis. Metode penelitiannya pun hanya bermodalkan eksperimen, survei, dan analisis isi. Dalam paradigma penelitian ilmu komunikasi, penedekatan kuantitatif condong pada paradigma positivistik yang menekanka

Liputan Pertama di Tahun 2019

Ini adalah liputan pertama saya di tahun 2019. Saya meliput seminar “Model Pembelajaran untuk Generasi Z” yang diadakan oleh Fikom UMN tadi siang. Seruuu ________ UMN Adakan Seminar Model Pembelajaran untuk Generasi Z Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) mengadakan seminar bertajuk  “Model Pembelajaran untuk Generasi Z” pada Rabu, 6 Februari 2019, bertempat di Lecture Hall Gedung New Media Tower UMN. Seminar ini diadakan sebagai rangkaian dari pre-event Comnews UMN 2019. Comnews sendiri merupakan konferensi komunikasi dan kajian media baru, yang akan dilaksanakan pada Maret mendatang oleh Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) UMN.  Seminar dibuka oleh Wakil Rektor II sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UMN Ir. Andrey Andoko, M.Sc. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa ponsel sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi z. Sehingga menurutnya, model pembelajaran masa kini harus disesuaikan dengan perilaku mereka. “D

Tahun Pertama Imlek Tidak Bareng Keluarga

Selamat Tahun Baru Imlek bagi pembaca sekalian yang merayakan! Semoga di tahun yang baru ini, kita senantiasa memperoleh rezeki, kesehatan, dan kebahagiaan. Satu lagi yang tidak boleh lupa, angpau!!! Tetapi sebenarnya, esensi dari Imlek adalah kumpul bareng keluarga. Selain membuat suasana lebih hangat dan mempererat silaturahmi tiap anggota keluarga. Pada momen kumpul-kumpul inilah yang paling ditunggu-tunggu anak-anak, termasuk saya. Sebab, pada saat kumpul-kumpul, angpau akan dibagikan. Namun sayangnya, di tahun ini, saya tidak bisa merayakan Imlek bersama keluarga saya di Pekanbaru. Kampus saya hanya libur satu hari, yakni pada hari H Imlek. Mau pulang ke Pekanbaru pun rasanya tanggung. Senin kuliah, Rabu ada liputan, Kamis ada kuliah. Alhasil, saya hanya bisa menikmati euforia Imlek lewat Instastory adik-adik saya. Saya lihat keseruan keluarga saya berkumpul dan bercanda bersama dalam balutan pakaian serbamerah. Walau tidak Imlekan bareng keluarga, ini bukan berarti saya

Resensi Marx dan Marxisme Karya Pip Jones

Saya belum pernah menemukan referensi yang tepat ketika ingin mempelajari Marxisme. Selama ini, dalam persepsi saya, Marxisme adalah paham yang terlarang untuk dipelajari. Sebab, Marxisme dekat kaitannya dengan paham terlarang di Indonesia, yakni komunisme. Akan tetapi, mempelajari Marxisme bukan berarti serta-merta akan menimbulkan semangat untuk menerapkan paham komunisme. Justru dengan belajar Marxisme, celah-celah kekurangan Marxisme bisa dideteksi. Buku ini memfasilitasi saya untuk mengenal dan mengetahui mengapa paham tersebut dilarang di Indonesia.  Bab ini memberikan saya pemahaman yang mendasar tentang Marxisme. Di bagian awal bab ini,  dijelaskan mengapa Marxisme bisa muncul. Penulis buku ini, Pip Jones, menyebut bahwa Marxisme adalah teori yang dirancang untuk mempromosikan masyarakat yang baik. Marxisme adalah respons terhadap modernitas. Pip Jones menjabarkan dari awal perkembangan Marxisme yang cikal-bakalnya bermula dari kegiatan terpenting manusia, yakni kegiatan

Menjadi Jurnalis Itu Berat, Kamu Belum Tentu Kuat

Dulu selain ingin menjadi guru, saya ngebet pengin jadi jurnalis. Saya selalu berandai-andai bisa tampil di TV sambil membawakan laporan langsung dari lokasi kejadian. Saya membayangkan bagaimana serunya bisa jalan-jalan dan mengunjungi berbagai wilayah di Indonesia untuk melaporkan kejadian. Angan-angan itu pulalah yang membuat saya memilih peminatan jurnalistik daripada komunikasi strategis saat penjurusan. Sekarang, peminatan jurnalitik di kampus saya sudah berstatus program studi.  Namun semua angan-angan itu semakin lama semakin redup. Gairah untuk menjadi seorang jurnalis mulai surut. Di satu sisi masih ingin mewujudkan cita-cita kala itu, tapi di sisi lain ada magnet yang terus menarik saya dan berbisik, "Menjadi jurnalis itu berat. Kamu belum tentu kuat!" Seiring berjalannya waktu, banyak dosen-dosen di program studi jurnalistik yang menceritakan betapa seru sekaligus mirisnya menjadi jurnalis. Apalagi ketika kami belajar tentang hubungan jurnalisme, pemil

#SetiapHariMenulis di Kelas Metodologi Riset Media

Kamis itu tidak seperti Kamis biasanya. Sebab Kamis itu adalah pertemuan pertama saya dengan mata kuliah Metodologi Riset Media II (MRM II). Di pertemuan pertama itu, kelas kami langsung mendapat tugas dari Bapak Yearry Panji, dosen pengampu mata kuliah. Namun tugasnya sedikit unik dan berbeda. Kami tidak disuruh memilih topik penelitian atau menulis latar belakang masalah, tapi kami diberi tantangan #SetiapHariMenulis. Tantangan #SetiapHariMenulis ini gampang-gampang susah. Sebenarnya tidak ada ketentuan khusus yang diberikan Pak Yearry pada kami. Kami hanya perlu menulis di blog pribadi dengan tema bebas. Gaya bahasanya pun terserah. Kami boleh menulis apa saja, mulai dari curahan hati, esai, resensi, cerpen, and you name it ! Sama sekali tidak ada ketentuan khusus kecuali, HARUS DITULIS SETIAP HARI.  Pak Yearry ingin melihat konsistensi kami menulis. Ia memberikan tantangan ini agar kami terbiasa menulis. Sebab menurutnya, mata kuliah MRM II tidak seperti mata kuliah MRM I

Mengapa Tidak Bahasa Indonesia?

Ada sebuah anekdot yang cukup menyentil. Suatu hari, Udin ingin memangkas rambutnya karena sudah panjang. Apalagi ia akan menghadiri sebuah pesta pernikahan. Walaupun ia pergi seorang diri tanpa pendamping, ia tetap harus tampil rapi, bukan? Namun ke mana pun ia mencari, tak satu pun toko pangkas rambut ia jumpai. Yang ia temui malah “ barbershop” .   Anekdot ini sebenarnya ingin menyindir tempat-tempat di ruang publik, yang dengan tanpa rasa bersalah, menggunakan bahasa asing. Tidak hanya toko pangkas rambut. Contoh lain, area rehat yang biasanya kita jumpai di stasiun pengisian bahan bakar. Alih-alih menggunakan istilah “area rehat”, mereka lebih bangga menggunakan “ rest area ”. Ada pula papan reklame yang bertuliskan “ space available ” daripada “tersedia ruang iklan”. Kalau semua contoh yang saya temui dijabarkan di sini, saya takut bisa-bisa menyaingi tebalnya KBBI.  Ruang publik yang dipadati bahasa asing seakan-akan membuat suasana di Indonesia tidak seperti Indonesia