Tidak Pantas Mengeluh

Mendengar cerita dari Sherly Dermawan, temanku yang berkuliah di jurusan kedokteran, membuatku berpikir kembali jika ingin mengeluh. Beban kuliah di jurusanku, tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan beban kuliah di jurusannya.

Bayangkan saja, Sherly dan teman-temannya di jurusan kedokteran harus mengikuti ujian setiap 10 hari sekali. Sistem kuliah mereka bukan per SKS, melainkan per blok. Satu blok khusus membahas satu organ tertentu dan biasanya diselesaikan dalam 1,5 bulan. Dalam satu semester, mereka normalnya menempuh 3-4 blok, DENGAN UJIAN SETIAP 10 HARI SEKALI. 

Belum lagi saat mereka harus mengikuti ujian lisan dengan topik acak. Materinya adalah semua blok yang sudah dipelajari selama satu tahun. Mau tidak mau, mereka harus menguasai semua blok selama satu tahun, lebih kurang 7-8 blok karena akan diundi secara acak dan dipresentasikan di depan dokter. Mereka harus menguraikan sedetail mungkin mulai dari nama medis, penyebab, gejala, reaksi, dan segala tetek bengeknya. 

Tentu ini belum ditambah dengan bahan bacaan, seperti buku dan jurnal hasil riset yang rumit. Mendengarnya saja sudah membuatku menelan ludah. Apa lah beban kuliah di jurusanku dibandingkan dengan mereka. Akan tetapi, ini bukan berarti aku menganggap remeh jurusan jurnalistik, lo.

Di setiap jurusan kuliah, tentu beban yang dihadapi berbeda-beda. Di semester ini misalnya, aku harus melakukan peliputan investigasi, mengolah data menjadi berita, dan yang paling membuat pusing tujuh keliling adalah membuat proposal penelitian. Tentu bukan tugas kaleng-kaleng. Yang ingin aku tekankan di sini, jika ingin mengeluh, ada jurusan lain yang lebih layak mengeluh. Ujian sepuluh hari sekali, kurang mengerikan apa lagi coba?

Aku jadi merefleksikan ini setiap kali lelah dengan tugas merangkum buku, menyusun proposal penelitian, mengedit video, dan menulis berita. Apa pantas masih mengeluh di saat Sherly, yang berkuliah di jurusan kedokteran, berusaha santai dan menikmati setiap proses pembelajaran? Aku jawab dengan tegas dalam batinku, TIDAK PANTAS!

Yang harus aku lakukan adalah berusaha menikmati setiap proses dengan legawa. Semua harus dimulai dari pikiran yang positif. Sebab secara tidak sadar, pikiranlah yang akan menuntun bagaimana kita merespons tanggung jawab. Apakah tanggung jawab akan dikerjakan sambil menggerutu dan hasilnya tidak maksimal? Atau tanggung jawab akan dikerjakan dengan rileks sehingga hasilnya sepadan? 

Aku jadi teringat dengan kekuatan pikiran yang kualami sendiri. Sejak SMP, musuh bubuyutanku adalah pelajaran matematika. Meski tidak suka dengan matematika, tapi bukan berarti aku malas-malasan dan dapat nilai jelek, lo. Yah sesekali pernah juga dapat nilai 90-an.  

Puncaknya adalah waktu SMA, tepatnya di kelas 11, saat satu angkatan jurusan IPA diajar oleh guru matematika legendaris. Yang bisa lulus dari kelasnya hanya segelintir orang. Mungkin karena sudah mendengar rumor mengerikan ini sejak kelas 10, pikiranku jadi mengonfirmasi rumor ini dan tersugesti saat benar-benar diajar oleh guru matematika ini di kelas 11.

Sehingga setiap kali ulangan, benar saja. Aku tidak pernah lulus! Mentok-mentok aku harus ikut remedial dan nilaiku hanya standard! Ini adalah nilai terjelek dan memalukan selama aku bersekolah dari SD hingga SMA. Sebelumnya, walau benci dengan matematika, nilaiku tidak pernah sejelek ini. Ini semua gara-gara kekuatan pikiran! Namun aku coba syukuri dan jadikan ini sebagai pelajaran. 

Di kuliah, lagi-lagi aku bertemu dengan matematika di semester 5. Kali ini namanya sedikit menjelma menjadi statistika. Trauma masa lalu itu sempat hinggap di pikiranku ketika mengikuti kelas ini pertama kalinya. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mencoba membuang pikiran buruk tentang matematika itu jauh-jauh. Aku berusaha menikmatinya, walau tidak enak rasanya. Yang jelas kali ini, aku tidak boleh termakan buah pikiran burukku sendiri!

Siapa yang sangka, seorang Wira yang dulu membenci matematika dan segala hitungan, bisa lulus dari mata kuliah statistika dengan nilai A? Rasanya tidak mungkin, tapi ini nyata! Pikiran memainkan peran yang besar dalam menentukan tindakan kita. Bayangkan saja kalau sampai lulus terus-terusan mengeluh, tidak akan ada habisnya. 

Semakin ke sini, aku semakin berusaha agar tidak mengeluh. Sebab selain memang tidak pantas mengeluh, ini bisa memberikan negative vibes bagi pikiran. Sherly adalah inspirasiku. Ia yang kuliah di jurusan kedokteran masih bisa berusaha untuk happy-happy dan bertanggung jawab, mengapa aku tidak bisa? 

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu