Menjadi Jurnalis Itu Berat, Kamu Belum Tentu Kuat

Dulu selain ingin menjadi guru, saya ngebet pengin jadi jurnalis. Saya selalu berandai-andai bisa tampil di TV sambil membawakan laporan langsung dari lokasi kejadian. Saya membayangkan bagaimana serunya bisa jalan-jalan dan mengunjungi berbagai wilayah di Indonesia untuk melaporkan kejadian.

Angan-angan itu pulalah yang membuat saya memilih peminatan jurnalistik daripada komunikasi strategis saat penjurusan. Sekarang, peminatan jurnalitik di kampus saya sudah berstatus program studi. 

Namun semua angan-angan itu semakin lama semakin redup. Gairah untuk menjadi seorang jurnalis mulai surut. Di satu sisi masih ingin mewujudkan cita-cita kala itu, tapi di sisi lain ada magnet yang terus menarik saya dan berbisik, "Menjadi jurnalis itu berat. Kamu belum tentu kuat!"

Seiring berjalannya waktu, banyak dosen-dosen di program studi jurnalistik yang menceritakan betapa seru sekaligus mirisnya menjadi jurnalis. Apalagi ketika kami belajar tentang hubungan jurnalisme, pemilik media, dan partai politik. Membuat saya semakin tidak selera. 

Belum lagi ditambah sejumlah kritik tajam terhadap mayoritas media yang mengutamakan profit daripada kepentingan publik, isu kaum marjinal, isu kelompok minoritas, dan komodifikasi khalayak serta pekerja media. Terdengar sangat mengerikan. 

Belum lagi jika membahas gaji jurnalis pemula pada kebanyakan media di Indonesia yang belum sesuai dengan anjuran Aliansi Jurnalis Independen yakni sebesar 8,42 juta. Saya tentu harus realistis. Saya akui, mendengar desas-desus besaran gaji jurnalis pemula tidak membuat saya bersemangat. Apalagi jika harus dibandingkan dengan beban kerja dan risikonya. 

Itu sebabnya, saya sudah pasang kuda-kuda untuk beralih lapangan kerja ketika sudah lulus nanti. Saya ingin berkiprah di bidang lain yang masih saudaraan dengan jurnalistik, yakni humas. Setelah dua tahun di kepanitiaan ospek bertanggung jawab pada divisi humas, dan sekarang di organisasi wihara menjabat sebagai koordinator divisi humas, saya merasa jiwa saya lebih cocok di bidang ini. 

Opsi lain yang tak kalah membuat saya antusias, saya ingin menjadi dosen. Tentu yang saya maksud adalah dosen ilmu komunikasi, lebih spesifik lagi, keilmuan komunikasi. Ini tentu tidak lepas dari minat lebih saya pada bidang keilmuan komunikasi, seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi antarbudaya, komunikasi massa, sosiologi komunikasi, dan komunikasi internasional. 

Tapi entahlah. Saya coba jalankan terlebih dahulu semester baru ini. Biarlah seiring waktu berjalan, saya semakin memantapkan pilihan saya. Toh mau tidak mau, ketika magang saya harus magang sebagai jurnalis di media. Mau tidak mau, saya harus menggarap skripsi tentang jurnalistik. Yang terpenting, berkarya di bidang apa pun nanti, harus tetap bersemangat dan tekun!

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu