Mengapa Tidak Bahasa Indonesia?

Ada sebuah anekdot yang cukup menyentil. Suatu hari, Udin ingin memangkas rambutnya karena sudah panjang. Apalagi ia akan menghadiri sebuah pesta pernikahan. Walaupun ia pergi seorang diri tanpa pendamping, ia tetap harus tampil rapi, bukan? Namun ke mana pun ia mencari, tak satu pun toko pangkas rambut ia jumpai. Yang ia temui malah “barbershop”.  

Anekdot ini sebenarnya ingin menyindir tempat-tempat di ruang publik, yang dengan tanpa rasa bersalah, menggunakan bahasa asing. Tidak hanya toko pangkas rambut. Contoh lain, area rehat yang biasanya kita jumpai di stasiun pengisian bahan bakar. Alih-alih menggunakan istilah “area rehat”, mereka lebih bangga menggunakan “rest area”. Ada pula papan reklame yang bertuliskan “space available” daripada “tersedia ruang iklan”. Kalau semua contoh yang saya temui dijabarkan di sini, saya takut bisa-bisa menyaingi tebalnya KBBI. 

Ruang publik yang dipadati bahasa asing seakan-akan membuat suasana di Indonesia tidak seperti Indonesia. Belum lagi jika melihat nama-nama kawasan hunian dan kompleks apartemen yang didominasi bahasa asing. Sebut saja BSD City, Kuningan City, Thamrin Residence, Menteng Sqaure, Mediterania Boulevard Kemayoran, dan Kemang Village Residence, yang namanya kebarat-baratan. Tentu nama-nama kawasan hunian ini hanya mewakili. Di luar sana, masih ada banyak nama-nama hunian yang menggunakan bahasa asing. 

Saya penasaran, mengapa nama-nama kawasan hunian tersebut tidak menggunakan bahasa Indonesia saja? Apa pihak pengelola menganggap kesan jika menggunakan bahasa asing lebih baik?

Salahkah Berbahasa Asing?

Sejatinya, menggunakan bahasa asing sah-sah saja. Bahasa asing digunakan agar kita bisa berkomunikasi secara global. Permasalahannya timbul ketika kita mengutamakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia, terlebih-lebih di ruang publik. 

Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa negara. Peraturan yang lebih detail tentang bagaimana memperlakukan bahasa negara diatur dalam Bab III Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. 

Undang-Undang tersebut menjabarkan dalam kondisi apa saja bahasa Indonesia harus digunakan, mulai dari dokumen resmi negara, pidato kenegaraan, nama geografi, layanan informasi publik, media massa, hingga nama bungunan, apartemen, jalan, permukiman, kompleks perdagangan, bahkan merek dagang.

Ini artinya nama apartemen dan kawasan permukiman yang sebagian besar menggunakan bahasa asing secara nyata melanggar UU Nomor 24 Tahun 2009. Akan tetapi permasalahannya tidak sampai di sana. Jika pada kasus korupsi ada lembaga yang berwenang memproses hukum, yakni melalui Komisi Pemberantarasan Korupsi, namun pada kasus pelanggaran berbahasa di ruang publik, tidak ada lembaga yang berwenang memberikan sanksi hukum.

Dalam Pasal 41 UU Nomor 24 Tahun 2009, disebut bahwa Pemerintah wajib membentuk lembaga kebahasaan untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa. Sebagai respons dari pasal tersebut, Pemerintah membentuk Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, atau yang biasa disebut Badan Bahasa, yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, badan tersebut tidak memiliki wewenang untuk memberikan sanksi.

Pemerintah yang Bandel dalam Penggunaan Bahasa Indonesia

Selama ini jika terjadi pelanggaran, tanggung jawab Badan Bahasa hanya sebatas memberikan teguran, audiensi, dan pembinaan. Yang paling nyata terasa adalah ketika Badan Bahasa menegur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berencana menggunakan nama “Semanggi Interchange” sebagai nama resmi proyek yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 17 Agustus 2017. Badan Bahasa mengusulkan agar nama berbahasa asing tersebut diganti menjadi “Simpang Susun Semanggi”. Akhirnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menurut. 

Kasus lain seperti penggunaan kata “skytrain” saat layanan kereta api layang ini pertama kali diresmikan oleh Angkasa Pura II. Badan Bahasa memberikan teguran kepada Angkasa Pura II dan meminta mereka untuk menggunakan padanannya dalam bahasa Indonesia, yakni “kalayang”.  Sedangkan untuk kata berbahasa Inggris dapat ditulis di bawahnya. Kalayang sendiri merupakan akronim dari kereta api layang.

Pemerintah seharusnya memberikan teladan kepada masyarakat dalam mengutamakan bahasa Indonesia di ruang publik, terutama melalui media komunikasi seperti papan reklame, spanduk, serta layanan informasi publik. Jika Pemerintah saja bandel dalam menggunakan bahasa Indonesia, bagaimana warganya bisa menjadikannya contoh? Jika Pemerintah saja tidak mengamalkan amanat undang-undang dalam berbahasa, apa masyarakat harus dipaksa mengamalkannya juga?

Memang dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, ada kondisi saat bahasa Indonesia tidak harus menjadi nama geografis atau bangunan. Akan tetapi perlu diingat, sebagaimana yang diatur dalam pasal 36 ayat (4), suatu tempat dapat menggunakan bahasa asing atau daerah selama memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan. Jika tidak mengandung setidaknya satu dari empat nilai tersebut, Pemerintah wajib menggunakan bahasa Indonesia. 

Jika Pemerintah berdalih ingin menyesuaikan diri menuju tantangan global dengan menggunakan bahasa Inggris, Pemerintah harus ingat bahwa konstitusi juga sudah mengaturnya. Bahasa asing atau bahasa daerah dapat digunakan untuk menyertai bahasa Indonesia. Artinya, tetap yang utama adalah bahasa negara. 

Tidak Semua Bandel

Meski banyak yang bandel dan tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai nama bangunan, apartemen, jalan, permukiman, kompleks perdagangan, dan merek dagang, ternyata tidak sedikit pula yang taat dengan amanat undang-undang. Seharusnya, mereka perlu diapresiasi oleh Badan Bahasa. 

Supaya tidak terlalu melebar, saya batasi pembahasan di bagian ini pada nama apartemen. Di saat apartemen berlomba-lomba menghadirkan nama serba-“city”, seperti Senayan City, Kalibata City, Green Pramuka City, Season City, Lumina City, Bassura City, dan siti-siti lainnya, ada apartemen yang tidak terjebak dengan per-sitisiti-an ini. Contohnya seperti Apartemen Kota Ayodhya di Tangerang. 
Contoh apartemen lain yang tunduk pada UU Nomor 24 Tahun 2009 seperti Apartemen Semanggi, Taman Anggrek, Istana Harmoni, Istana Sahid, dan Puri Kemayoran. Tentu di luar sana, saya yakin masih ada apartemen lain yang tetap bangga menggunakan nama berbahasa Indonesia. 

Saya menduga apartemen-apartemen yang enggan menggunakan bahasa Indonesia karena ada faktor reputasi dan manajemen kesan yang ingin ditampilkan. Bahasa Inggris yang identik dengan barat, kemajuan, pendidikan, dianggap lebih mewah. Target pasar yang akan membeli unit  apartemen dipersepsikan adalah masyarakat urban berpendidikan yang familier dengan bahasa Inggris. Apalagi, tidak semua orang Indonesia bisa berbahasa Inggris. Ini memberikan kesan eksklusif. Bandingkan dengan bahasa Indonesia yang bisa dimengerti hampir semua golongan, termasuk golongan masyarakat kelas ekonomi bawah. 

Hymes (1974) seperti yang dimuat dalam Triyoga (2011) menyebut bahwa bahasa adalah sesuatu yang membentuk masyarakat pemakainya, bukan sekadar sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Bahasa Inggris yang hanya dikuasai orang-orang tertentu di Indonesia membentuk kesan eksklusif bagi pemakainya. Kesan eksklusif inilah yang ingin ditampilkan pada calon pembeli unit apartemen yang ditargetkan adalah orang-orang kelas ekonomi menengah ke atas yang berpendidikan dan menguasai bahasa Inggris. 

Saya berharap dugaan ini salah. Sebab jika memang alur mereka berpikir adalah demikian, mereka sudah mencampakkan bahasa negara, bukannya menjungjung tinggi sebagaimana yang diharapkan konstitusi. 

Media Massa Tidak Ikut-Ikutan
Untung media massa tidak ikut-ikutan menggunakan bahasa asing. Bayangkan jika media massa ikut-ikutan gengsi sehingga menggunakan bahasa asing, tidak semua kalangan masyarakat akan terlayani dan mendapat informasi. Padahal fungsi media massa adalah untuk memberikan informasi dan edukasi, selain  hiburan dan kontrol sosial. Bahasa yang digunakan oleh media massa haruslah bahasa yang dimengerti oleh setiap kalangan. 

Memang ada beberapa media di Indonesia yang menggunakan bahasa asing, sebut saja The Jakarta Post yang berbahasa Inggris dan Metro Xinwen yang berbahasa Mandarin. Di provinsi-provinsi tertentu, malah ada media massa yang menggunakan bahasa daerah. Lantas, apakah media-media massa ini melanggar undang-undang?

Jika mengacu kepada UU Nomor 24 Tahun 2009 pasal 39, media massa wajib menggunakan bahasa Indonesia. Namun ada pengecualian bagi media massa yang memiliki tujuan dan khlayak khusus. Sehingga, The Jakarta Post, Metro Xinwen, dan siaran berbahasa daerah lainnya tidak melanggar undang-undang karena mereka punya khalayak khusus. Ini tentu berbeda konteksnya dengan nama bangunan dan apartemen. 

Sebagai wujud apresiasi, bahkan Badan Bahasa memberikan penghargaan bagi media massa yang paling baik menggunakan bahasa Indonesia. Pada 2018, penghargaan media massa berbahasa Indonesia terbaik diberikan kepada sepuluh surat kabar, secara berurutan yaitu Media Indonesia, Republika, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat (Jawa Barat), Tribun Jabar, Koran Sindo, Warta Kota, Lampung Post, Suara Pembaruan, dan Tabengan (Kalimantan Tengah). Badan Bahasa juga memberikan penghargaan bagi media massa yang paling berdedikasi berbahasa Indonesia, yang jatuh kepada Koran Tempo dan Kompas

Selain itu, badan yang dipimpin oleh Prof. Dadang Sunendar ini juga memberikan penghargaan kepada pemerintah provinsi serta pegiat-pegiat bahasa dan sastra secara berkala. Akan tetapi seharusnya penghargaan sejenis ini juga diberikan kepada masyarakat pemilik usaha atau tempat di ruang publik yang paling taat berbahasa Indonesia.  Sehingga kesan penghargaan bahasa Indonesia tidak hanya untuk pemerintah dan mereka yang mendalami bidang bahasa, tapi juga untuk semua kalangan masyarakat. 

Saya mengapresiasi betul langkah Badan Bahasa dalam memberikan penghargaan pada media massa yang paling baik menggunakan bahasa Indonesia dan paling berdedikasi berbahasa Indoneisa. Media massa sebagai ruang publik yang menyatukan fakta, pengalaman, opini, dan diskusi, harus sekaligus menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat tentang bahasa Indonesia. 

Media massa yang konsisten dalam berbahasa Indonesia menjadi penyegar di saat ruang publik lainnya sedang dilanda bahasa asing. Namun yang harus diingat, berbahasa asing tidak salah. Yang salah adalah mengutamakan bahasa asing di ruang publik. Perusahaan, organisasi, atau individu yang ingin menyampaikan pesan melalui media komunikasi di ruang publik tidak boleh merasa malu menggunakan bahasa Indonesia. Sebaliknya, mereka harus bangga menggunakan bahasa negara di ruang publik. 

Jangan sampai Pemerintah perlu membentuk lembaga yang berhak memberikan sanksi hukum dalam menegakkan pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik. Bisa-bisa penjara penuh kalau dari kita sendiri tidak memiliki kesadaran. 


Sumber:
Utami, T. D. (2011). Pemakaian Bahasa Komunitas Pedagang di Pasar Klewer Kota Sala: Sebuah Peran Kajian Sosiolinguistiik Menjaga Tradisi. Lingua. 6(1). 

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu