Sudah Dipanggil "Om"

Pagi itu mengubah segalanya. Membuatku kembali merenungkan esensi dari perubahan. Aku bangun pagi, pergi ke wihara, dan naik lift untuk menuju ruang ibadah di lantai lima. Di lift itu, ada seorang ibu dengan anaknya yang masih balita kelihatannya. Kulempar sebuah senyuman ke arah mereka.

"Halo, Adik... Sekolah minggu ya?" ujarku pada anak kecil itu.

Kemudian kudengar ibunya menyuruh anaknya menjawab pertanyaanku, "Tuh, ditanya sama Om. Jawab, dong... 'Iya, Om mau sekolah minggu,'" jawab ibunya kembali tersenyum.

Sejak mendengar itu, aku jadi merenung. Ternyata sudah setua itu, ya... Perasaan dulu kalau ada anak kecil, aku masih dipanggil Koko, sekarang sudah ada yang panggil Om.

Memang hidup itu dinamis, tidak statis. Kalau bahasa dalam agama Buddha, hidup itu annica, alias tidak kekal. Selalu ada perubahan yang terjadi dalam hidup, bahkan dalam hitungan detik. Tidak usah perubahan yang besar, bahkan perubahan yang kecil dan tak tampak pun terjadi setiap saat. Contohnya saja seperti sel di dalam tubuh yang terus berkembang, mati, berkembang, mati, dan berkembang lagi.

Demikian pula dengan tujuan hidup. Tujuan hidup kita juga berpotensi berubah-ubah seiring proses yang kita lalui. Contohnya saja, ketika SD aku sangat bergairah ingin menjadi dokter gigi. Beranjak SMP, aku merasa menjadi guru jauh lebih mengasyikkan. Tapi masuk SMA, impian menjadi guru meredup. Di SMA, aku putuskan ingin menjadi jurnalis. Tekadku menjadi jurnalis saat itu sudah sangat bulat dan membara-bara, buktinya saja aku dengan ikhlas memilih jurusan jurnalistik padahal Mama menyuruh ambil jurusan lain saja.

Saat mengalami proses kuliahlah aku mulai mengalami kegundahan. Aku rasa aku terlalu sok idealis ingin menjadi jurnalis. Aku kurang realistis. Di tahun kedua berkuliah di jurusan jurnalistik, gairah menjadi jurnalis mulai pudar. Aku malah mulai melirik menjadi dosen atau praktisi PR saja. Sekilas mungkin akan terkesan labil, tapi seperti itulah proses. Kita harus berani mengambil sikap, risiko, dan perubahan, yang pasti demi visi ke depan yang lebih baik dan realistis.

Pikian-pikiran seperti ini tentu tidak kudapat ketika masih duduk di bangku SMA. Saat itu yang kupikirkan adalah belajar untuk ulangan, akan lanjut kuliah di mana, dan mau pakai baju apa untuk acara sweet seventeenth teman. Sekarang yang kupikirkan tidak seremeh itu. Di usia hampir 21 tahun ini, aku mulai memikirkan kerja dulu atau lanjut S-2; bagaimana menghasilkan uang; di usia berapa akan menikah; mulai mencari-cari pasangan hidup; berapa budget untuk menikah; dan hal-hal yang bahkan ketika SMA tak pernah terbayangkan olehku.

Ketika melihat beberapa temanku sudah bekerja dan menghasilkan uang sendiri tanpa meminta ke orang tua, aku jadi tersentil. Bukankah seharusnya aku juga demikian? Tapi kembali aku menyadari, hidup adalah proses. Setiap orang tentu memiliki proses yang berbeda-beda. Ada yang sudah menikah di usia 20, tapi ada juga yang di usia 30 belum menikah karena masih berproses. Ada yang sudah berpenghasilan mapan di usia 20 tanpa kuliah, tapi ada pula yang ingin fokus kuliah karena ingin menjadi akademisi. Pikiran-pikiran yang kerap muncul seperti inilah yang mungkin disebut dengan quarter life crisis.

Kalau tidak bijak memaknainya, bisa-bisa kita terjebak pada perangkap quarter life crisis. Kita jadi membanding-bandingkan hidup kita dengan hidup orang lain hanya karena proses mereka berbeda. Kita jadi tidak menikmati proses. Yang paling buruk, kita jadi kehilangan jati diri karena mendambakan kehidupan milik orang lain tanpa menikmati proses yang kita lalui.

Semuanya memang berubah. Yang dulunya masih dipanggil "Koko" akan dipanggil "Om". Yang dulunya galau mau kuliah di mana sekarang pusing memikirkan pekerjaan. Yang dulunya mukanya imut-imut akan menua. Yang dulunya tidak malu minta uang jajan ke orang tua, sekarang rasa malu itu mulai timbul. Yang dulunya akrab dan sering ketemu akan sibuk dengan urusan masing-masing. Yang dulunya selalu pergi bersama sekarang bertegur lewat DM Instagram saja sudah senang rasanya. Yang dulunya bersama, sekarang telah berpisah. Dan yang dulunya masih sendiri, percayalah nanti pasti akan ada yang mencari.

Perubahan itu pasti. Sekarang tinggal bagaimana kita memaknai perubahan itu.



Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu