Apa yang "Real" dari Realitas?

Image Source: time.com

Sebuah kutipan dialog dalam film Spider-man: Far from Home membuat jiwa ilmu komunikasi saya bergetar. Tepatnya, saat MJ merespons ucapan Brad, teman sekelasnya, yang sedang mengomel tentang Peter Parker dalam rombongan.

"The very concept of objective truth is fading out of the world," celetuk MJ.

Brad lantas menimpali MJ, "George Orwel. Thank you, MJ."

Lebih kurang, terjemahan kutipan George Orwel yang dipinjam MJ itu adalah "Konsep dari kebenaran objektif memudar dari dunia". Saya jadi teringat dengan gagasan Berger dan Luckmann (1996) tentang konstruksi sosial atas realitas yang saya pelajari dalam kelas Sosiologi Komunikasi.

Singkatnya, pandangan konstruksi sosial menyatakan bahwa tidak ada realitas tunggal yang paling benar, semua realitas dikonstruksi secara sosial. Bungin (2014) lalu mengelaborasi bahwa konstruksi sosial dipandang sebagai proses kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada. Seseorang kemudian akan membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dialami berdasarkan struktur pengetahuan yang ia miliki sebelumnya (Bungin, 2014).

Sebagai contoh, realitas tentang kecantikan perempuan. Sebagian masyarakat menilai bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang berkulit putih. Ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Bond dan Cash (1992) di Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian perempuan berkulit hitam di Amerika Serikat merasa perempuan berkulit putih lebih cantik, serta laki-laki berkulit hitam lebih terpikat dengan perempuan berkulit putih.

Padahal menurut Xie dan Zhang (2013), kecantikan serta warna kulit dan wajah yang ideal berbeda-beda tergantung masyarakat, kebudayaan, dan generasi. Buktinya saja, di Eropa dan Amerika Utara, kulit yang kecoklatan menjadi primadona perempuan-perempuan di sana (Miller, Ashton, McHoskey, & Gimbel, 1990).

Memang benar, ada banyak faktor yang berkorelasi dengan terbentuknya standar kecantikan dan warna kulit. Pengaruh historis-politik di Amerika Serikat serta iklan industri produk kecantikan yang menggembar-gemborkan narasi "kulit putih" adalah contoh-contohnya. Tidak berlebihan jika kita menyebut bahwa realitas tentang kecantikan sejatinya telah dikonstruksi secara sosial.

Jika sebuah realitas saja masih dianggap relativitas oleh sebagian orang, maka apa yang "real" dari realitas? Jika di dalam realitas saja masih mengandung relativitas, tidak salah jika George Orwel sampai mengatakan kebenaran objektif memudar dari dunia.

Media massa adalah bukti nyata bagaimana pekerja media mengonstruksi realitas. Di media A, sebut saja Joko, selalu dikupas tuntas segala keburukannya. Di media B, Joko malah disanjung-sanjung. Maka, realitas mana yang harus dipercaya?

Jawabannya sederhana. Di tengah zaman pascakebenaran atau post-truth, tentu realitas yang sejalan dengan emosi dan keyakinan personal adalah realitas yang paling dianggap benar. Fakta dan data seakan tidak diperlukan jika sudah berhadapan dengan emosi dan keyakinan personal. Belum lagi kalau membahas sikap merasa paling benar yang dimiliki sebagian warganet di jagat dunia maya, bisa panjang pembahasannya.

Omong-omong soal media massa, dalam film Spider-man: Far from Home, konstruksi sosial akan realitas juga dimainkan oleh media massa TheDailyBugle.net pada cuplikan post-credit. Penyiar berita mengonstruksi realitas mengenai Spider-man dengan sedemikian lihai, bahkan hingga membuat Peter Parker berkata, "What the shit?!"

Sebelum semakin menjerumus menjadi spoiler, saya rekomendasikan siapa pun yang belum menonton Spider-man: Far from Home agar segera menonton di bioskop kesayanganmu, agar kamu tidak terjebak dalam realitas yang saya sampaikan ini. Buktikan sendiri, alami sendiri, dan konstruksikan realitasmu sendiri.






Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu