Anak Seni Yang Humoris

Halo semuanya, pada kesempatan kali ini mari kita isi masa liburan kita dengan selingan-selingan dalam blog ini. Kali ini, saya ingin sekali menceritakan tentang teman baikku, Frans Dicky Naibaho. Tetapi ia lebih akrab disapa Dicky.



Dicky adalah salah satu peserta didik di sebuah sekolah swasta katolik SMP Santa Maria. Ia mulai akrab denganku semenjak menduduki bangku kelas delapan. Mengenai bakat dan talentanya, tidak perlu diragukan lagi. Ia sangat menguasai berbagai instrumen musik terutama biola. Jemari tangannya sangat lihai memainkan alat musik yang mungkin cukup rumit dimainkan oleh beberapa orang. Kemahirannya bermain biola patut diacungi jempol, karena ia telah banyak mengikuti lomba-lomba dan meraih beberapa piala kemenangan dari lomba-lomba itu. Ia juga sering diundang oleh pihak sekolah untuk mengisi berbagai acara seperti; Perayaan Natal, Perayaan Ulang Tahun Sekolah, Perayaan SMAYAVA, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan satu per satu karena mungkin sampai besok baru kelar (#Majas Hiperbola). Selain mahir memainkan instrumen musik, ia juga sangat mahir memandu angkota paduan suara. Ia terlihat sangat berwibawah berdiri di depan anggota paduan suara sambil mengayunkan jari-jemarinya. Tidak hanya sampai di situ, ia juga dikenal sebagai bintang dalam dunia jepret-menjepret. Sebuah Canon menjadi salah satu barang yang tidak boleh dilupakan baginya. Setiap ada momen istimewa, ia selalu mengabadikannya lewat jepretan demi jepretan kameranya.



Rekanku yang berkawat gigi ini ingin sekali berkecimpung di dunia seni apabila kelak ia kuliah. Ia sangat berinisiatif mendapatkan gelar Sarjana Seni mengikuti jejak Ibu Ade dan Pak Eki, guru kesenian di sekolah kami.  Dicky juga merupakan teman yang selalu menghibur teman lainnya apabila mereka bersedih. Karakternya yang selalu ceria dan humoris membuat siapa saja yang bergaul dengannya menjadi awet muda karena hari demi hari diisi dengan canda-tawanya.

Ada sebuah momen yang sangat sulit dilupakan bersama Dicky,  ketika hari pengambilan nilai teater, aku yang sekelompok dengan Dicky belum mempersiapkan apa-apa. Kami bingung mencari ide apa yang harus kami tampilkan dalam durasi satu menit. Sudah lima kelompok yang tampil, namun kami masih bingung untuk membawakan materi yang akan disampaikan. Akhirnya sebuah ide terlintas di benak kami. Dan ketika kami hendak mendiskusikannya, nama kami pun langsung dipanggil oleh Pak Eki (guru teater). Untungnya aku dan Dicky sudah memahami ide tersebut walau hanya didiskusikan dalam hitungan detik saja. Sebuah nilai delapan puluh delapan kami peroleh dari hasil jerih payah kami (Ketika itu nilai tertinggi adalah delapan puluh delapan).

Ada keunikan tersendiri dari Dicky, dalam bbm, ia biasanya merespon hal yang lucu dengan cara ketawanya yang berbunyi "H" (cuman 'H', tak ada tambahan sedikit pun). Dan itu membuat ciri khasnya sulit dilupakan.


Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu