Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu

Gulraj Singh, dewan pembina Sikh Temple Pasar Baru, saat menjelaskan tentang agama Sikh kepada tim liputan pada Jumat, 15 Desember 2017. (Raisya Tamimi / UMN)

Lelaki itu mengenakan serban berwarna hitam. Janggut dan kumis yang sudah memutih dibiarkan tumbuh menghiasi wajahnya. Di tangan sebelah kanan, ada gelang besi berwana perak yang melingkari pergelangannya. 

Namanya Gulraj Singh. Ia merupakan putra salah satu pendiri Sikh Temple Pasar Baru, tempat ibadah agama Sikh yang tertua di bilangan Jakarta Pusat. Pagi itu ketika menyambut kedatangan tim liputan, Gulraj baru saja menyelesaikan ibadah pagi berjemaah.

Sebagian besar laki-laki pemeluk agama Sikh memang berpenampilan seperti Gulraj Singh. Rambut yang tidak dipotong dan ditutupi serban; janggut yang dibiarkan tumbuh; dan gelang besi di tangan kanan adalah identitas budaya yang mereka perlihatkan. Selain identitas berupa penampilan, pemeluk Sikh juga bisa dikenali melalui nama belakang mereka. 

“Umumnya kalau laki-laki di ujung namanya pakai ‘Singh’,” ujar Gulraj, yang sekarang menjabat sebagai dewan pembina di Sikh Temple Pasar Baru. 

Sedangkan untuk perempuan, nama belakang mereka umumnya adalah “Kaur”. Identitas budaya perempuan penganut Sikh bisa dilihat ketika mereka mengunjungi gurdwara atau tempat ibadah agama Sikh. Sebagaimana laki-laki, perempuan penganut agama Sikh harus menutup kepala. Biasanya mereka menggunakan selendang atau hijab.

Untuk memasuki gurdwara harus mengenakan penutup kepala. (Raisya Tamimi / UMN)

Perpaduan Hindu dan Islam

Agama Sikh mungkin tidak akrab di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Pasalnya, penganut agama Sikh di Indonesia secara administrasi kependudukan terdaftar dalam binaan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Kementerian Agama Republik Indonesia. Ini artinya, kolom agama di KTP penganut Sikh di Indonesia digolongkan agama Hindu. 




Padahal, menurut Gulraj, agama Sikh tidak murni merupakan agama Hindu. Ia mengatakan agama Sikh adalah hasil perpaduan antara agama Hindu dan Islam. Tradisi seperti mengenakan kain sari khas India untuk perempuan, tidak makan daging sapi, penggunaan bahasa Sanskerta, dan sistem filosofinya adalah pengaruh agama Hindu. 

Pengaruh Islam bisa dilihat dari ajaran agama Sikh yang tauhid, alias hanya mengakui satu Tuhan. Ini terbukti dari dua kata pemuka dalam kitab suci mereka, yakni Ek Onkar yang berarti “satu Tuhan”. Selain itu, agama Sikh tidak mengenal sistem kasta sebagaimana yang ada dalam agama Hindu. 

“Kalau kita (hasil) peleburan, campuran dari Hindu. (Ibaratnya) Protestan dari Hindu, jadi tidak ada patung, tapi tetap Hindu. Simplified dan ada pengaruh juga dari Islam, jadi mixed,” terang Gulraj.  

Ia mengatakan ajaran Sikh berasal dari India Utara, yang sekarang termasuk wilayah Pakistan.

“Kita mulanya dari Guru Nanak,” ujar Gulraj. Ajaran Guru Nanak kemudian diteruskan kepada sembilan guru lainnya. “Sama seperti Kristen, Yesus dengan disciples (murid). Begitu pula Muhammad dengan sahabat-sahabatnya,” lanjutnya.

Di zaman itu, hubungan pemeluk Hindu dan Islam kurang tentram. Sehingga Guru Nanak mencoba mengombinasikan nilai-nilai dari kedua agama tersebut agar lebih harmonis. 


Bagunan Sikh Temple Pasar Baru sekilas tampak seperti masjid. (Raisya Tamimi / UMN)

Gurdwara Lebih Mirip Masjid Ketimbang Pura

Mereka menyebutnya gurdwara, atau secara harfiah berarti “pintu menuju guru”. Di daerah Pasar Baru, gurdwara tempat Gulraj menjadi dewan pembina ini adalah yang tertua. Dari jauh, bangunannya menyerupai masjid, apalagi dengan kubah di atasnya. Setiap orang harus mengenakan penutup kepala jika ingin memasuki gurdwara.


Tampak dalam Sikh Temple Pasar Baru. Tidak ada patung dewa-dewi di dalamnya. (Raisya Tamimi / UMN)

Bagian dalam gurdwara juga tampak menyerupai masjid ketimbang pura, tempat ibadah agama Hindu. Lantainya beralaskan karpet, sebagaimana yang kerap ada dalam masjid. Tidak ada patung dewa-dewi di dalamnya. Di dekat mimbar di depan,  diletakkan Guru Grant Sahib, kitab suci agama Sikh,  di atas tempat yang menyerupai singgasana. 

Umat yang datang biasanya akan memberikan penghormatan kepada Guru Grant Sahib dengan bersujud, mirip dengan salah satu posisi salat. Setelah itu mereka akan memberikan infak ke tempat yang telah disediakan. 


Umat Sikh sedang memberikan penghormatan pada kitab suci Guru Grant Sahib. (Raisya Tamimi / UMN)


Umat Sikh beribadah di gurdwara dua kali sehari. Namun bukan merupakan suatu keharusan untuk beribadah di gurdwara. Umat Sikh juga boleh beribadah di rumah masing-masing.

“Kita sembahyangannya hanya tiap pagi sama sore,” tutur Gulraj. 

Ibadah di gurdwara dilakukan secara berjemaah. Mereka duduk lesehan dan bersama-sama membacakan ayat-ayat dalam Guru Grant Sahib. Sekilas, tradisi ini mirip mengaji dalam agama Islam. 

Agama Sikh di Indonesia

Jemari Gulraj mengeluarkan KTP dari dompetnya. Perlahan ia memperlihatkan kartu identitasnya itu. Telunjuknya mengarah ke kolom agama. Di sana tertera dengan jelas agama Hindu. 


Gulraj menunjukkan kartu tanda penduduknya kepada tim liputan. (Raisya Tamimi / UMN)

Meski Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan kolom agama pada KTP pada November 2017, Gulraj mengatakan hal itu tidak akan berdampak pada agama Sikh di Indonesia. 

Berdasarkan putusan MK mengenai pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, penghayat kepercayaan di luar enam agama resmi yang diakui pemerintah sudah bisa menuliskan kepercayaannya di KTP. Namun Gulraj mengatakan agama Sikh tetap akan “mengumpet” di balik agama Hindu. Ia  mengaku sudah bersyukur diterima oleh pemerintah sebagai bagian dari agama Hindu. 

“Jadi kalau kita memang digolongkan, memang sama seperti Hindu, ya kita di KTP dapat Hindu,” ungkap Gulraj. 

Ia mengatakan urusan administrasi negara adalah urusan pemerintah. Menurutnya, tujuan beragama adalah untuk menjadi pribadi yang baik, bukannya ikut campur dengan urusan administrasi pemerintah. 

“Kami dihormati dengan masuk agama Hindu, Direktorat (Jenderal Bimbingan Masyarakat) Hindu, dengan orang-orang Bali,” pungkasnya. 



Agama Sikh dan Anak Muda

Tidak seperti Gulraj yang rambutnya dililit dan ditutupi serban, Amardev Singh tampil dengan rambut yang dipangkas rapi seperti anak muda biasanya. Dari nama belakangnya, Amardev juga merupakan pemeluk agama Sikh. Mahasiswa jurusan Teknik Sipil di salah satu universitas swasta di Bandung itu mengaku tidak begitu mengikuti peraturan mengenai rambut dan janggut. 


Amardev Singh tampil dengan rambut dan janggut yang dicukur rapi. (Wirawan / UMN)

“Tapi kalau anak muda sih, di zaman sekarang, biasanya udah enggak mau kayak gitu juga,” ujar lelaki keturunan India yang biasanya dipanggil Amar itu. “Anak muda zaman sekarang pengin fashionable juga,” tambahnya. 

Amar juga menyebutkan selain karena tren, alasannya tidak mengikuti identitas kebanyakan pemeluk Sikh karena takut diejek. Ketika masih sekolah dulu, Amar mengatakan ia kerap diejek oleh teman-temannya karena keindiaannya. Namun ia mengerti ejekan itu hanya sebatas main-main dan bercanda.

“Entar kalau udah makin tua mungkin udah mau ikutin sesuai ajaran agama lagi,” ujarnya seraya tersenyum. 

Apa yang dilakukan oleh Amar bisa ditinjau menggunakan teori akomodasi komunikasi yang dirumuskan oleh Howard Giles. Teori ini berasumsi tentang kemampuan menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain (West & Turner, 2013).

Amar, yang teman-temannya tidak familier dengan serban serta rambut dan janggut panjang, mencoba menyesuaikan diri. Ia mengikuti gaya potongan rambut dan pakaian teman-teman sebayanya agar tidak terlalu mencolok berbeda. Hal ini wajar dalam melakukan interaksi sosial. Teori akomodasi komunikasi menjelaskan bahwa pembicara memiliki berbagai alasan untuk menyesuaikan diri dengan orang lain.

Dengan melakukan penyesuaian baik dalam hal pakaian maupun bahasa, Amar bersyukur dirinya diterima oleh teman-temannya. 

“Masih bisa beradaptasi sih, masih enak. Berteman dengan teman dari berbagai suku,” ungkapnya.


Menyorot Identitas Budaya Pemeluk Sikh

Menurut Klyukanov dalam buku Communication Between Cultures yang ditulis Larry A. Samovar, dkk., identitas budaya bisa dilihat sebagai keanggotaan dalam suatu kelompok yang seluruh anggotanya berbagi makna simbolik yang sama. 

Kendati demikian, pada kenyataannya, memang tidak semua pemeluk Sikh memperlihatkan identitas penampilan yang sama dengan Gulraj Singh. Tidak semua pemeluk Sikh nyaman dengan rambut dan janggut yang panjang. Apalagi bagi anak muda.

Menurut Gulraj, perbedaan pilihan seperti mau memanjangkan rambut atau tidak, dan mengenakan serban  tiap saat atau tidak, adalah wajar dan tidak perlu dipermasalahkan. 

“Asal jangan ganggu orang lain. Jangan paksa orang lain. Saya benar, orang lain salah,” jelas Gulraj. “itu something wrong here,” lanjutnya seraya menunjuk kepalanya. 


Mengintip umat Sikh yang sedang beribadah. (Raisya Tamimi / UMN)

Identitas budaya pemeluk Sikh memang tidak melulu berkaitan dengan penampilan saja. Masih ada unsur lain seperti spekulasi, kitab suci, ritual, etika, dan tempat yang aman, sebagaimana yang ditulis Samovar, dkk. 

Pemeluk Sikh tetap menyandang identitas sebagai bagian dari agama Sikh bukan semata-mata dari penampilan yang sama. Yang terpenting, mereka memiliki persamaan spekulasi, kitab suci, ritual, etika, dan tempat yang aman. 

Semua pemeluk Sikh harus memiliki spekulasi yang sama pada Tuhan yang tunggal, tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan.

“Beliau tidak lahir, beliau tidak mati,” jelas Gulraj.

Selain itu, semua pemeluk Sikh juga harus percaya pada kitab suci yang sama, yakni Guru Grant Sahib. Mereka juga melakukan ritual ibadah yang sama serta punya etika bertingkah laku yang sama. Tiap pemeluk Sikh harus menebar kebaikan agar tercipta Bumi sebagai tempat yang aman. 

“Tidak ada tempat di langit yang namanya surga,” ungkap Gulraj. “Agama Sikh bilang kalau kalian itu senang, puas, tentram, malam tidur tenang, itu surga,” lanjutnya. 


Gulraj saat menjamu tim liputan. Ia menjelaskan nama-nama makanan khas India yang dihidangkan. (Raisya Tamimi / UMN)

Selepas tim liputan dijamu sarapan oleh Gulraj, ia mengajak tim liputan berkeliling gurdwara. Gulraj mengatakan adalah sebuah tradisi di gurdwara untuk makan bersama usai ibadah berjemaah. Ia menekankan siapa saja boleh masuk ke gurdwara dan ikut makan bersama. 

Meski di Indonesia pemeluk Sikh dikategorikan agama Hindu, hal ini bukan menjadi persoalan serius bagi mereka. 

“Tidak wajar kalau kita banyak nuntut-nuntut. Kita diajar rendahkan diri, tahu diri,” pungkasnya.  

Dari penjelasan Gulraj, tampaknya agama Sikh sudah cukup nyaman mengumpet dalam pelukan agama Hindu. 



________________________
Penulis     : Wirawan
Editor Video : Eliata Jonathan
Fotografer : Raisya Tamimi
Videografer : Robertus Galih, Eliata Jonathan
Host                : Agatha Jessica

Comments

  1. menarik sekali....sudah saatnya pemeluk Sikh diperbolehkan menuliskan Sikh di identitas mereka di Indonesia..

    ReplyDelete
  2. Mereka keturunan India dan menggunakan agama Sikh, harusnya mereka diakui identitasnya sebagaimana orang Tionghoa yang menggunakan agama Kong Hu Cu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection