Mengupas Film “The Greatest Showman” dengan Pisau Ilmu Komunikasi


“Cause every night I lie in bed, the brightest colours fill my head. A million dreams are keeping me awake,”

Penggalan lirik lagu yang dinyanyikan seorang bocah lelaki bernama Phineas itu boleh disebut sebagai inti dari film yang disutradarai Michael Gracey ini. Bocah itu adalah anak penjahit miskin langganan keluarga yang kaya raya. 

Tingkah konyol Phineas saat mengikuti ayahnya ke rumah keluarga si kaya membuat putri si kaya yang bernama Charity jatuh hati. Singkat cerita setelah dewasa, Phineas yang diperankan Hugh Jackman dengan perjuangan, berhasil menikahi Charity yang diperankan Michelle Williams, dengan menjanjikannya mimpi. 

Mimpi. Ya, film ini memang mengomodifikasi mimpi yang menjadi nyata. Tapi cara film ini dibungkus dan disajikan pada penonton yang membuatnya istimewa. Film ini dikemas dan dipertontonkan sebagai film musikal. 

Saya tidak akan mengulas alur cerita film ini. Selain karena tidak mau memberikan bocoran, kalian bisa membaca alur ceritanya di blog sebelah. Namun yang saya ingin kupas di sini adalah sisi lain dari film ini. Setelah menonton film ini sebanyak dua kali, saya selaku mahasisiwa ilmu komunikasi bisa mengamati beberapa adegan yang cukup merangsang indra keilmukomunikasian saya.  


Konsep Diri dan Nilai Diri

Konsep diri dan nilai diri yang kita miliki bisa memengaruhi dan dipengaruhi oleh cara kita berkomunikasi. Fenomena ini terlihat amat jelas saat Phineas mencari orang-orang dengan penampilan aneh dan unik untuk ditampilkan pada sirkus yang akan dirintisnya.  

Ia memulai pencariannya dengan menemui Charles Stratton, pria 22 tahun dengan tubuh kerdil. Kemudian dari informasi warga, Phineas menjumpai Lettie Lutz, wanita berjenggot dengan tubuh gempal. 

Baik Charles maupun Lettie keduanya malu dan minder saat bertemu Phineas. Bahkan ibu Charles saat membukakan pintu untuk Phineas mengatakan ia tidak punya anak. Lettie tidak kalah paniknya ketika Phineas coba mendekatinya dan melihatnya berjenggot. Mereka memang tidak terang-terangan mengatakan malu dan minder, tapi bahasa tubuh mereka berbicara. 

Hal ini bisa terjadi karena mereka memiliki konsep diri dan nilai diri yang buruk terhadap diri mereka sendiri. Menurut Joseph A. DeVito dalam The Interpersonal Communication Book, konsep diri adalah bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri. DeVito menyebutkan konsep diri terbentuk karena empat hal, yakni (1) pandangan orang lain terhadap diri kita yang mereka ungkapkan, (2) perbandingan yang kita buat antara diri kita dan orang lain, (3) pengajaran budaya, dan (4) evaluasi diri berdasarkan tingkah laku sendiri. 

Saya menaruh perhatian ekstra pada poin (1). Seorang ibu kandung saja malu dengan Charles, bagaimana tidak Charles juga tidak malu pada dirinya? Ibunya memandang Charles sebagai aib yang harus disembunyikan, maka tidak heran jika saat Phineas menemuinya, Charles bersembunyi di kamar. 
Lettie tidak jauh berbeda. Orang-orang di sekitarnya memberikan penilaian buruk terhadap dirinya. Saat Phineas mengatakan dirinya cantik, misalnya. Seisi tempat Lettie bekerja sontak menertawakannya. Wajar saja jika Lettie minder pada dirinya sendiri. 

Konsep diri erat kaitannya dengan nilai diri. Menurut DeVito, nilai diri adalah ukuran seberapa berharga diri kita bagi kita sendiri. Jika seseorang memiliki nilai diri yang rendah, mereka cenderung memandang diri mereka secara negatif.

Inilah yang tampak pada Charles, Lettie, dan pemain sirkus lainnya. Tapi sejak mereka dipertemukan oleh Phineas, konsep diri yang tadinya muram berubah menjadi cerah. Mereka yang tadinya menganggap diri mereka tak bernilai, kini mereka lebih menerima diri mereka apa adanya.

Semua terlihat ketika Lettie memimpin teman-teman pemain sirkus lainnya menyanyikan lagu “This Is Me”. Lirik lagunya menyentil dan mengekspresikan kesenduan hidup mereka yang bahkan dikatai oleh orang-orang di sekitar dengan “cause we don't want your broken parts

Tapi di satu sisi lagu ini memperlihatkan bahwa berkat dipersatukan oleh Phineas, mereka merasa lebih mulia, seperti pada lirik “but I won't let them break me down to dust. I know that there's a place for us, for we are glorious.”

Menurut DeVito, salah satu cara meningkatkan nilai diri adalah dengan bertemu orang yang membangun (nourishing people). Orang yang membangun pada film ini ditampilkan pada diri Phineas. Berkat motivasi darinya, mereka tidak malu lagi dengan diri sendiri. Seperti lirik “I'm not scared to be seen, I make no apologies, this is me.”


Budaya Maskulin 

Hofstede dalam buku Communication Between Cultures yang ditulis Larry A. Samovar, dkk. menyebut bahwa budaya maskulin mengharapkan laki-laki menjadi sosok yang tegas, ambisius, dan kompetitif serta berjuang untuk kesuksesan materi dan menghormati apa yang besar, kuat, dan cepat. 

Semua itu ditampilkan melalui aktor Hugh Jackman selaku Phineas. Merasa bersalah karena telah menjanjikan Charity mimpi-mimpi indah, Phineas berjuang keras agar bisa mewujudkan perkataannya, “the life I promise you”. 

Tidak puas dengan kejayaan sirkusnya di Amerika, ia menggandeng Jenny Lind, penyanyi papan atas di Eropa. Demi meningkatkan popularitas sirkusnya, Phineas mengundang Jenny Lind bernyanyi di Amerika dan mengajaknya melakukan tur di negaranya. Hingga sebuah skandal yang menjeratnya terjadi di tengah-tengah kesuksesannya.

Saking ambisiusnya pada ketenaran, kejayaan, dan materi, Charity bahkan sampai menuduh Phineas tidak mencintai siapapun kecuali sirkusnya. 


Budaya Individualis

Selain menampilkan budaya maskulin pada karakter Phineas, film ini juga menghadirkan budaya individualis, lagi-lagi pada sosok Phineas. Menurut Morissan, budaya individualis bekerja untuk membangun penghormatan diri mereka sebagaimana individu lainnya. 

Budaya individualis paling kentara ketika Phineas memperlakukan ayah Charity saat menghadiri konser Jenny Lind. Ia berusaha mempertahankan “wajah”-nya ketika dikatai “anak tukang jahit”.

Dalam ilmu komunikasi, teori negosiasi wajah (face negotiation) adalah teori yang familier ketika berbicara menganai hubungan antarbudaya. Teori yang dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey ini memberikan dasar bagi kita untuk memperkirakan bagaimana orang membangun dan melindungi “wajah” mereka dan untuk melindungi, membangun, atau mengancam “wajah” orang lain. 

Menurut Morissan, “wajah” dalam teori ini dapat didefinisikan sebagai citra diri seseorang di mata orang lain. Citra diri mencakup perasaan menghormati, kehormatan, status, hubungan, dan nilai-nilai lainnya yang diberikan seseorang kepada seseorang. 

Morissan menuturkan, "Pada budaya individualis, misalnya, orang cenderung lebih sering menggunakan serangan langsung kepada pribadi dan mencoba melindungi serta membangun kembali harga diri mereka atau harga diri orang lain dengan menunjukkan penghormatan pribadi." 

Tidak heran Phineas memilih mempermalukan ayah Charity, yang dulu menghinanya ketika melamar Charity. Phineas bahkan tidak segan-segan mengusir ayah Charity keluar dari ruangan pesta. 


Saya jarang-jarang menulis resensi film atau buku dengan mengupasnya menggunakan pisau ilmu komunikasi, hanya untuk film dan buku yang menurut saya dahsyat. Film ini salah satunya. Musik pada film ini berhasil menjadi earworm  di telinga saya selama berhari-hari. 

Terlepas dari beberapa efek visual yang buruk, seperti animasi singa dan gajah yang tampak tidak realistis, film ini berhasil membuat saya merogoh kocek dua kali untuk menontonnya. 


Anda seharusnya menyesal jika melewatkannya di bioskop kesayangan Anda! Ada banyak pesan positif yang disampaikan melalui film ini.

____________
Daftar Pustaka:
     DeVito, Joseph A. 2016. The Interpersonal Communication Book. Inggris: Pearson Education Limited.
     Samovar, Larry A., dkk. 2010. Communication Between Cultures. Singapura: Cengage Learning.
     Morissan. 2013. Teori Komunikasi Individu Hingga Kelompok. Jakarta: Prenadamedia Group.

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu