Konversi Puisi "Gerilya" Menjadi Cerpen: Bebas yang Benar-Benar Bebas

Cerpen ini adalah salah satu tugas mata kuliah Creative Writing, mengonversi puisi menjadi cerpen. Cerpen ini dikonversi dari puisi W. S. Rendra yang berjudul "Gerilya", dengan interpretasi penulis. 
Selamat membaca.
***
Rerintik hujan yang berpadu dengan aroma rerumputan menyambut pagi di sebuah desa di tepi kota Bandung.  Cericit burung terdengar saling bersahut-sahutan, sinkron dengan sinar matahari yang perlahan mulai mencuat.
Dimas, yang hanya tinggal berdua dengan ibunya, baru saja bangun dari tidurnya. Ia berjalan ke arah dapur, menghampiri ibunya. Perempuan paruh baya yang sudah bangun lebih pagi itu sedang berjibaku dengan adonan kuenya. 
“Eh, sudah bangun kamu, Nak. Boleh tolong kamu hidupkan dulu tungku itu?” ujar ibunya pelan.
Tanpa banyak bicara, Dimas segera menyalakan tungku di dapurnya, sebagaimana rutinitasnya setiap pagi. Sejak kekacauan yang diakibatkan oleh kedatangan Belanda di pusat kota Bandung, Dimas dan anak-anak di desanya terpaksa harus berhenti sekolah. 
Dimas kemudian mengambil corong bambu yang ada di dekat tungku. Ditiupinya nyala api di tungku itu agar menyala semakin besar. Asap hitam mulai mengepul dan perlahan keluar melalui jendela dan pintu belakang. 
“Bu, mengapa Belanda kembali datang ke negara kita? Bukankah kita sudah merdeka?” dengan polos, Dimas bertanya.
“Itulah sifat tamak manusia, Nak. Belanda tidak puas pernah memperbudak orang Indonesia selama tiga setengah abad. Padahal mereka sudah pernah menyerahkan Indonesia pada Jepang. Sekarang, setelah penjajahan Jepang berakhir, mereka menganggap bangsa kita akan kembali ke bawah jajahannya.” jelas ibunya.
Rahayu. Nama ibu Dimas. Wanita yang sedang mengaduk adonan ondel-ondel itu tergolong pintar untuk ukuran wanita-wanita seusianya. Sudah cukup penjajahan fisik baginya. Ia tidak mau terjajah lagi dalam hal wawasan. Ketika masih gadis, Rahayu sering membantu menjaga perpustakaan sederhana di desanya. Sesekali, ia mencuri-curi waktu membaca berbagai macam buku.
Dimas menghela napasnya. “Kapan Dimas bisa sekolah lagi, ya, Bu?” celetuk Dimas.
“Entahlah, Ibu juga tidak tahu. Kita sama-sama berharap agar Belanda segera angkat kaki dari tempat kita.” balas Rahayu.
Dimas hanya diam. Diam dalam ketidakpastian.
***
Lantunan merdu ayat-ayat Alquran keluar dari mulut Dimas dan teman-temannya. Usai salat magrib, mereka lanjut mengaji. Dimas dan teman-temannya sudah tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan di tengah ketegangan yang terjadi. Sesekali di tengah lantunan ayat-ayat Alquran yang mereka bacakan, suara-suara tembakan semar-semar terdengar. Hati Dimas miris. Batinnya tersiksa. Ia belum bisa merasakan kebebasan. Di manakah kemerdekaan itu? batin Dimas dalam hati. Adakah bebas yang benar-benar bebas?
Ia memohon kepada Allah agar Belanda segera angkat kaki dari Indonesia. Ia memohon agar ia bisa mengecap kembali rasanya bersekolah.
Teman di sebelahnya, Wahyu, juga melakukan hal yang sama. 
Mereka mencoba tegar.
*** 
Rahayu tampak berbeda pada hari ini. Wajahnya lebih pucat daripada biasanya. Badannya terlihat lebih lesu. Gerakan tangannya yang biasa lincah mengaduk adonan kue, kini  terlihat lebih lemah. Matanya sayu. 
“Ibu baik-baik saja hari ini?” tanya Dimas yang melihat ada keanehan pada kondisi fisik ibunya.
“Baik-baik saja atuh, Nak.” jawab ibunya sambil mengaduk adonan kue di tangannya.
“Wajah Ibu terlihat pucat. Ibu sedang sakit?”
Rahayu terdiam sejenak. “Tidak, ah. Ibu sehat-sehat saja. Memang sedikit capek sih, tapi setelah istirahat pasti akan membaik.” 
Dimas yang sedang memarut kelapa, menatap ibunya dengan saksama. Ibunya pasti sedang kelelahan. Tidak biasanya ibunya seperti ini.
“Nanti setelah Dimas menitipkan kue ke warung Bu Fitri, ibu Dimas pijat, ya…”
Rahayu hanya tersenyum melihat anak satu-satunya itu. Ia sangat mencintai anaknya melebihi rasa cinta pada dirinya sendiri. Rahayu mengutuk Belanda karena telah membuat anaknya tidak bisa bersekolah lagi. Rahayu ingat persis bagaimana Dimas bercita-cita ingin menjadi dokter. Kini setelah kondisi kacau, ia risau bagaimana cita-cita Dimas bisa terwujud. 
***
Dimas dan tiga temannya berkumpul di sebuah saung di tengah sawah yang tidak jauh dari rumahnya. Hanya terlihat beberapa orang petani yang sedang bekerja. Tidak jauh dari saung tempat mereka berkumpul, terlihat seorang petani sedang membajak sawah dengan seekor sapi. Petani-petani ini sepertinya sudah kebal dengan belaian si raja siang.
Dimas duduk di sebelah kiri Wahyu. Ia yang mengajak teman-temannya berkumpul di saung ini. Walau mereka tidak bersekolah lagi karena kekacauan yang terjadi, semangat mereka untuk belajar tidak padam. Di tengah-tengah mereka, tergeletak sebuah buku. Ilmoe Hajati oentoek SLTP
Dimas yang memang lebih mudah memahami pelajaran, menjelaskan kembali pada teman-temannya. Wahyu, Rifka, dan Putri hanya menyimak dengan saksama.
“Kau masih ingat saja dengan pelajaran itu,” celetuk Rifka.
“Tidak ingatkah kau ia ingin menjadi dokter, Rif?” Wahyu merespons.
Putri menghela napas. “Coba saja Belanda tidak datang lagi ke Indonesia…” sambung Putri.
Dimas terdiam sejenak. Seketika, terbesit sebuah ide di benaknya. Ia tidak tahu dari mana ide itu bisa tiba-tiba melekat di kepalanya.
“Teman-teman… aku punya ide!” Dimas menyela pembicaraan teman-temannya.
“Ide? Ide untuk apa?” tanya Wahyu.
“Untuk membuat Belanda angkat kaki dari Indonesia!”  
Semua melongo. “Bagaimana caranya? Kau gila?” spontan, Rifka berceletuk.
“Coba kalian dengar,” Dimas sangat antusias. “Kita harus mengumpulkan warga kampung ini dan kampung sebelah untuk beramai-ramai menuju ke pusat kota, tempat pasukan Belanda singgah. Jangan lupa membawa kujang, pisau, celurit, atau bahkan golok. Kita harus mengusir mereka. Kita tidak boleh diam saja begini. Tidakkah kalian ingat Pak Sukarno sudah memproklamasikan kemerdekaan kita?” sambungnya bersemangat.
Wahyu, Putri, dan Rifka terbelalak mendengar ide Dimas. Mereka bertanya-tanya dari mana Dimas bisa terilhami dengan ide tersebut?
“Ini ide yang berbahaya, Dim. Kau tahu?” Putri bertanya.
“Aku yakin tidak ada satu pun warga kampung yang mau melakukan ide itu.” timpa Rifka.
“Risikonya menyangkut masalah hidup dan mati, Kawan!” sambung Wahyu.
Dimas kembali diam. Batinnya sedang berkonflik. Satu sisi batinnya mengatakan ini adalah ide yang brilian. Apabila warga terus-menerus diam, kapan mereka akan merasakan kebebasan yang benar-benar bebas? Tapi sisi batinnya yang satu lagi juga menyetujui apa yang diucapkan teman-temannya. Ini adalah sebuah ide yang sangat berbahaya. Risikonya menyangkut masalah hidup dan mati orang banyak.
Kemudian sebuah ide baru kembali menghampiriri Dimas. Namun Dimas lebih memilih menyimpan ide itu untuk dirinya sendiri. 
***
Terang sudah dilahap gelap. Dan si raja siang sudah bersembunyi di singgasananya. Malam hari di kampung itu hanya ditemani cahaya rembulan. Suara-suara jangkrik menghiasi malam, menemani warga kampung yang dirundung rasa takut. 
Rahayu sedang tidur di kamarnya. Hanya lampu teplok satu-satunya sumber penerangan di kamar itu. Rahayu kelihatannya sangat kelelahan. Ia begitu pulas tertidur.
Dimas masuk ke kamar ibunya. Diletakkannya surat yang sudah ditulisnya di atas meja di samping tempat tidur ibunya. Kemudian, ia duduk di samping tempat tidur ibunya. 
“Ibu, Dimas sangat mencintai Ibu.” ujar Dimas seraya mengecup kening ibunya.
Kemudian Dimas keluar dari rumahnya dengan diselimuti malam.
***
Kakinya terus menapak. Semangatnya sudah membara. Dimas sedang berjalan ke arah pusat kota tanpa membawa apa-apa. Yang ia punya hanya semangat. Tekadnya sudah bulat. Ia ikhlas apa pun yang nanti akan terjadi padanya.
Perbatasan menuju pusat kota semakin dekat. Dimas sudah bisa melihat ada lampu-lampu patroli yang bergerak ke sana ke mari.  Langkahnya semakin pasti. Pantang bagi dirinya untuk mundur.
Ketika memasuki pusat kota, lampu patroli sudah mengguyurnya. Terdengar teriakan riuh dari para tentara Belanda.
“Bapak-Bapak, saya berdiri di sini mewakili perasaan teman-teman saya yang tertindas!” ia mengacungkan jari telunjuknya. “Saya mohon kepada kalian untuk pulang kembali ke negara kalian. Dengan kehadiran kalian di sini, saya dan teman-teman saya jadi tidak bisa bersekolah. Kami tidak merasa aman.” sambungnya.
Tentara Belanda terlihat kebingungan. Mereka saling bertatap-tatapan. Seorang bocah yang masih bau kencur sedang berdiri dan berbicara bahasa yang tidak mereka mengerti. Kemudian seorang tentara Belanda yang kelihatan sudah lebih senior mendekati Dimas. 
“Pulanglah kamu. Kami tidak mau berurusan dengan bocah!” ujar tentara itu dengan bahasa Indonesia yang kurang lancar.
“Saya tidak akan pulang sebelum kalian pulang!” sahut Dimas.
Ucapan Dimas membuat tentara itu geram. Diarahkannya pistol yang dipegangnya pada tubuh Dimas. 
“Cepat pulang, atau saya tembak!” gertak tentara itu.
“Tembak saja! Aku tidak takut!” balas Dimas.
Tentara itu naik pitam. Emosinya telah mencapai tingkat maksimal. Tanpa berpikir panjang, tentara itu menembakkan beberapa butir pelur pada tubuh Dimas. Seketika yang dilihat Dimas hanyalah gelap. Dan baru kali inilah Dimas merasakan bebas yang benar-benar bebas.
***
Mentari belum menunjukkan rupanya. Hanya jalar cahaya kemerahan yang menyongsong,  menemani  Rifka yang memikul keranjang sayur-mayur di punggungnya.  Ia sedang membantu ibunya berjualan sayur keliling kampung. 
Sesekali Rifka berhenti untuk menghela napas, kemudian ia melanjutkan perjalanan. Inilah rutinitas yang ia lakukan pasca-kedatangan Belanda lagi. 
  Tidak jauh dari tempat ia berjalan, ia melihat ada sesuatu tergeletak di jalan. Ia mencoba mendekati. Semakin ia berjalan mendekat, bulu kuduknya semakin merinding. Kakinya lemas. Badannya kaku. Ada mayat yang tergeletak di hadapan matanya!
Yang lebih membuat ia terbelalak, mayat itu adalah temannya sendiri. Dimas.
Rifka menjerit sejadi-jadinya. Perasaannya bercampur aduk.  Ia tidak percaya sosok biru kaku yang terbujur itu adalah Dimas. Ia takut karena melihat darah terciprat di tubuh Dimas. Ia sedih karena kehilangan seorang sosok sahabat hebat.
Tidak lama kemudian, warga kampung segera berbondongan datang menghampiri Rifka. Mereka tidak kalah kagetnya dengan Rifka. 
“Itu anak Rahayu! Itu anak Rahayu!” teriak salah seorang warga.
Semuanya panik. Mereka tidak menyangka. Dimas merengang nyawa dengan sangat memprihatinkan. Tujuh lubang peluru ada di tubuhnya. Di dekat tubuh Dimas yang terbujur kaku, Rifka menangis dan menjerit tidak karuan.
“Bagaimana reaksi Rahayu melihat ini semua?”
Innalillahi wainnailaihi rojiun
“Anak janda yang memprihatinkan.” ujar salah seorang warga kampung.

Namun sebenarnya mereka tidak tahu. Dimas telah mencicipi bebas yang benar-benar bebas.

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu