Puisi Adalah Mesin Waktu


Membaca puisi "Batas" karya Aan Mansyur kembali menerbangkan ingatan saya ke memori satu tahun lalu. Saat itu remaja-remaja, baik yang baru puber atau yang sudah lama putus-nyambung cinta, sedang dihebohkan dengan penayangan film Ada Apa dengan Cinta 2 atau AADC 2 di bioskop. Saya ingat jelas bagaimana teman-teman saya mabuk dan tergila-gila dengan film itu.

Jujur, saat itu saya sama sekali tidak tertarik untuk menonton film AADC 2. Ketika diajak oleh teman-teman saya untuk menonton film itu, saya dengan bersikukuh mengatakan "tidak".  Saat itu yang ada di pikiran saya mengenai AADC 2 adalah film cinta-cintaan remaja yang bertepuk sebelah tangan, galau, dan akhirnya bertemu dengan pujaan hati yang lain. Tapi semakin saya bersikukuh menolak ajakan teman-teman saya, semakin gencar pula mereka mengajak saya.

Apalagi, salah seorang teman saya sudah ada yang sudah menontonnya terlebih dulu, lalu dengan penuh menggoda mengatakan kepada saya, "Wir, kau harus nonton AADC 2! Filmnya sastra banget!"

Mendengar teman saya berkata demikian, sekarang saya yang jadi bimbang. Saya sebagai penggila sastra paling tidak tahan apabila ada film yang berhubungan dengan sastra. Akhirnya karena penasaran dengan cerita-cerita teman saya, saya mengajak teman saya yang lain yang kebetuan juga belum menonton AADC 2 untuk menonton bersama saya.

Saya sampai harus mengorbankan waktu les persiapan UMPTN demi menonton film yang awalnya sama sekali tidak menarik bagi saya.

Dan yang benar saja, saya dibuat terkesima selama menontonnya! Benar kata teman saya, film ini sastra banget! Setelah film berakhir, saya langsung mengatakan pada diri saya sendiri, film ini harus ditonton sekali lagi! (Ngomong-ngomong, saya adalah tipe orang yang rela dan ikhlas apabila harus menonton ulang film yang menurut saya bagus untuk dua atau sampai tiga kali.)

Setelah menonton AADC 2 untuk kedua kalinya, puisi-puisi yang dibacakan Rangga terus-menerus berkumandang dalam benak saya. Saya benar-benar dibuat mabuk AADC 2! Dan pada beberapa minggu belakangan ini, saya baru berkesempatan memiliki kumpulan puisi yang dibacakan Rangga. Buku kumpulan puisi itu berjudul Tidak Ada New York Hari Ini karangan Aan Mansyur.

Ketika membaca ulang kumpulan puisi ini sekali lagi, entah mengapa saya seolah dibawa terbang ke masa lalu, ke masa SMA. Apabila ada ungkapan yang mengatakan bahwa lagu adalah mesin waktu, saya ingin menambahkan bahwa puisi juga adalah mesin waktu.

Oh, sial. Mendadak saya jadi merindukan teman-teman SMA saya. Hei, kalian teman-teman SMA saya, apa kabar?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu