Bahagia karena Melepas, Menderita karena Melekat

Hati saya bergetar ketika membaca tulisan yang ditempel di bagian belakang sebuah mobil, yang saya jumpai di tengah jalan. Tulisan itu berbunyi, “Bahagia karena melepas, menderita karena melekat.” 

Apabila hanya membaca tulisan itu secara sekilas, akan timbul sebuah kebingungan. Apakah dengan melepaskan sesuatu bisa membuat kita bahagia? Bukankah hati kita terasa berat saat ingin melepaskan sesuatu, apalagi sesuatu yang sudah terlanjur kita senangi?

Di sisi lain, apabila kita membaca tulisan itu dengan saksama, makna yang disampaikan justru akan berbeda. Tulisan tersebut sebenarnya menggambarkan suasana hati saat kita memberikan sedekah atau derma. Saat berderma, kita telah melepas sebagian yang kita miliki demi membantu orang lain yang kekurangan. Disadari atau tidak, ketika kita bersedekah atau berderma, ada sebuah perasaan bahagia yang timbul karena melihat orang lain bahagia menerima pemberian kita. Setidaknya, walaupun tidak diberikan secara langsung ke orangnya—alias melalui kotak amal—hati kita tetap merasa bahagia karena tahu sedekah yang kita berikan akan diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan.

Sebaliknya, apabila kita terlalu terikat dengan apa yang kita miliki, perasaan yang timbul adalah was-was karena takut kepunyaannya hilang. Guru Biologi ketika saya SMA, Ibu Dewi Magdalena, pernah bercerita. Beberapa tahun silam, ia pernah diberi vas bunga yang sangat indah dan unik. Ia tidak pernah melihat vas bunga sebagus itu sebelumnya. Ia sangat mengistimewakan vas bunga itu dibanding vas bunga lainnya. Suatu hari, asisten rumah tangganya secara tidak sengaja memecahkan vas bunga kesayangannya. Apabila Ibu Dewi terlalu melekat dengan vas bunganya, ia bisa saja memarahi habis-habisan si asisten rumah tangga karena telah memecahkan vas bunga kesayangannya. Namun, Ibu Dewi berpikir jernih dan berusaha tidak melekat pada vas bunganya. Ia meredam emosinya dan hanya menasihati si asisten rumah tangga agar lebih berhati-hati saat bekerja. 

“Ibu mau marah, memaki, atau tidak, vas bunga Ibu juga tidak akan kembali seperti semula. Jadi marah hanya menguras energi saja,” ujarnya pada saya dan teman-teman sekelas saat itu.

Benar kata Ibu Dewi. Bila pada saat itu ia marah, hanya akan menimbulkan penderitaan bagi pikirannya. Semua sesederhana itu. Bila kita mau melepas, yang timbul di hati kita adalah perasaan bahagia, lega, dan tidak terbebani. Sedangkan bila kita terlalu melekat, yang ada hanyalah rasa lelah, frustasi, dan penderitaan. 

Bhikkhu Jayamedho, seorang rohaniwan Buddha, dalam sebuah talk show di Pekanbaru pernah memberikan sebuah perumpamaan. Ibaratnya tubuh yang terus-menerus menerima asupan makanan, sistem tubuh akan mencerna kemudian berusaha untuk mengeluarkan zat-zat sisa hasil pencernaannya. Apabila zat-zat sisa sudah “dilepas”, yang ada adalah perasaan lega. Rutin mengeluarkan zat sisa, secara tidak langsung menyatakan tubuh kita sehat dan sistem tubuh bekerja dengan baik. Sebaliknya, apabila zat sisa hasil pencernaan tidak “dilepas”, alias dibiarkan menumpuk di dalam tubuh, yang ada hanyalah penyakit dan dampak buruk lainnya. Senada dengan yang diumpamakan rohaniwan tersebut, gemar berderma alias melepaskan sebagian kepunyaan kita, menandakan pribadi yang rendah hati dan tidak kikir. 

Membahas mengenai melepas—seperti yang sudah disinggung di awal—erat kaitannya dengan berderma. Berderma adalah contoh konkret untuk menunjukkan sikap melepas. Setiap agama di dunia, khususnya di Indonesia, selalu mengajarkan tentang berderma, walaupun dengan istilah dan pendekatan yang berbeda-beda. 

Di dalam agama Islam, istilah zakat, infak, dan sedekah adalah istilah-istilah yang umum digunakan. Zakat adalah sebuah kewajiban bagi orang-orang yang mampu dan prosedurnya ditetapkan oleh syarak (hukum Islam). Orang-orang yang dikenai kewajiban membayar zakat harus melakukannya saat bulan Ramadan. Sementara infak adalah kegiatan berderma secara sukarela berupa materi yang bisa dilakukan kapan saja. Tidak seperti zakat yang penerimanya sudah ditetapkan dalam Alquran, infak boleh diberikan kepada siapa pun tanpa mengenal batasan.

Istilah sedekah adalah istilah yang lebih luas cakupannya. Sedekah bisa dilakukan melalui materi maupun bukan materi, misalnya memberikan sedekah uang dan sembako kepada fakir miskin. Bahkan menebarkan cinta kasih, senyuman, dan berbagi kebahagiaan juga termasuk sedekah.

Di dalam agama Katolik dan Protestan, istilah yang umum digunakan adalah persembahan. Persembahan adalah memberikan sebagian harta yang kita miliki dengan keikhlasan dan ketulusan hati untuk dipersembahkan kepada Tuhan melalui gereja. Uang hasil persembahan biasanya digunakan untuk membiayai operasional gereja, aksi sosial, dan keperluan lain yang diatur oleh pengurus.

Umat Buddha lebih familier dengan istilah berdana. Dalam agama Buddha, berdana harus dilakukan dengan tulus dan dilandaskan pada cinta kasih. Selain sebagai wujud kepedulian kepada sesama, umat Buddha juga memahami berdana sebagai tindakan untuk mengikis kotoran batin, yaitu kebencian, keserakahan, dan kebodohan batin. Di dalam agama Buddha—sama seperti konsep sedekah—berdana tidak harus melalui materi. 

Agama Buddha mengenal empat jenis dana, yaitu amisa dana atau berdana dengan materi (uang, makanan, obat-obatan, dan lainnya), paricaya dana atau berdana dengan tenaga, abhaya dana atau berdana dengan saling memaafkan dan memberikan rasa aman, dan yang terakhir adalah dhamma dana atau berdana dengan cara menyebarkan ajaran kebaikan dan kebenaran.

Mirip dengan istilah dalam agama Buddha, agama Hindu menggunakan istilah dana punia. Dana berarti pemberian, sedangkan punia berarti baik atau suci. Dengan ber-dana punia, umat Hindu bisa menyebarkan kebaikan, cinta kasih, dan kepedulian kepada sesama. Umat Hindu percaya, dana punia bisa memperkuat keyakinan terhadap Tuhan.

Agama Khonghucu tidak jauh berbeda. Agama Khonghucu juga mengajarkan betapa pentingnya berderma dan membantu sesama. Walaupun menggunakan istilah dan pendekatan yang berbeda-beda, tetapi makna yang ingin disampaikan setiap agama adalah sama.

Berderma atau bersedekah membuat kita selalu rendah hati dan tidak sombong. Tetapi yang harus ditekankan dalam berderma adalah ketulusan hati dan tanpa pamrih. Tidak sepatutnya berderma karena ingin mendapat imbalan berlipat ganda dari Tuhan atau karena ingin dilihat oleh masyarakat sebagai orang yang dermawan. Apabila dalam berderma muncul pikiran-pikiran seperti itu, hendaklah kita singkirkan. 

Ada sebuah analogi yang menarik, yang pernah disampaikan oleh guru saya. Apabila kita melepas satu dan berharap akan diberi imbalan dua, ibaratnya membagikan angka satu dengan angka dua, yang hasilnya setengah. Apabila kita melepas satu dan berharap akan diberi imbalan satu, ibaratnya membagikan angka satu dengan angka satu, yang hasilnya tetap satu. Namun yang jauh lebih mulia, apabila kita melepas satu dan tidak berharap diberikan imbalan, ibaratnya membagikan angka satu dengan angka nol, yang hasilnya tak terhingga. Analogi ini tentunya sangat tepat untuk menunjukkan ketulusan, keikhlasan, dan tanpa pamrih saat berderma. 

Lantas, sudahkah kita melepas? Atau, masihkah kita melekat? Silakan renungkan dalam hati masing-masing.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu