Resensi Film: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck


I.     Identitas

Judul Film                   : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Sutradara                     : Sunil Soraya
Tanggal Dirilis             : 19 Desember 2013
Genre                          : Roman
Pemain                        : Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahardian, Jajang C. Noer, Ninik     L. Karim
Penulis Asli                 : Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)

Baca juga resensi film The Greatest Showman

II. Sinopsis

            Zaman yang semakin modern dan berkembang terkadang membuat kita sebagai
masyarakat Indonesia haus akan film-film lokal Indonesia, apalagi cerita yang diangkat dari
roman angkatan 80-an ke bawah yang kental akan budaya Nusantara.
      
            Film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” hadir memenuhi kehausan penikmat film
dan sastra. Cerita dimulai dengan Zainuddin seorang pria berdarah Minang-Bugis yang ingin menuntut ilmu agama di Batipuh, Sumatra Barat. Di tanah kelahiran ayahandanya itulah pertemuan dengan Hayati terjadi. Takdir memang tidak disangka-sangka, sejak Hayati kehujanan dan dipinjamkan payung oleh Zainuddin selepas pengajian, hubungan mereka pun menjadi lebih akrab dengan surat-menyurat. Tak jarang mereka pun bertemu dan sedikit berbincang.

            Hal inilah yang dirisaukan keluarga Hayati yang sangat memegang teguh adat istiadat Minang  Kabau. Karena Zainuddin yang merupakan perantau – yatim piatu pula – dengan status suku yang tidak jelas, menjadikannya tembok penghalang dalam bergaul di lingkungan Minang. Apalagi desas-desus dan cibiran dari para warga tentang kedekatan Zainuddin dan Hayati yang semakin akrab saja. Karena merasa geram, ayahnya mendiskusikan hal ini ke kepala adat desa mereka. Dengan bermusyawarah dengan pihak keluarga lainnya, Zainuddin pun terpaksa harus diusir dari Batipuh dengan alasan, Padangpanjang merupakan tempat yang lebih bagus apabila ingin belajar agama. Di bagian ini diperlihatkan bahwa hukum adat sangat kental dan sangat berpengaruh pada saat itu.

            Mau tidak mau, Zainuddin harus mengikuti perintah ketua adat, apalagi dengan statusnya sebagai perantau. Sebelum ia meninggalkan Batipuh, Hayati sempat menemuinya. Benih cintah yang sudah tertabur di hati kedua insan itu seakan tidak rela mereka saling berpisah. Di saat inilah sumpah dan janji diiklarkan Hayati bahwa ia akan tetap dengan setia menunggu kembalinya Zainuddin dan merajut kasih sebagai suami-istri. Sebagai kenang-kenangan, Hayati memberikan Zainuddin sebuah selendang yang sering dipakainya. Zainuddin pun pergi dengan membawa haru.

            Di Padangpanjang, hubungan mereka berdua tetap terjaga dengan kegiatan surat-menyurat. Dan di Padangpanjanglah Zainuddin bertemu dengan Muluk, sahabat barunya. Suatu hari, hati Zainuddin bagai ditumbuhi sejumlah bunga yang bermekaran ketika membaca surat dari Hayati, bahwa Hayati diperbolehkan mengunjungi Padangpanjang sekaligus bersilahturahmi ke rumah sahabatnya, Khadijah. Sesampainya di Padangpanjang, Hayati langsung menuju ke rumah Khadijah dan disambut hangat oleh keluarga Khadijah, terutama oleh kakak laki-laki Khadijah yang bernama Aziz. Aziz yang merupakan keluarga terpandang dan sering bergaul dengan orang-orang Belanda itu ternyata diam-diam menyimpan rasa suka dengan Hayati.

            Tak disangka-sangka, bukannya bertemu dan bercengkrama hangat dengan Zainuddin di Padangpanjang, Hayati malah mendapat kabar bahwa ia akan dinikahkan dengan Aziz. Padahal sebelumnya, Zainuddin juga mengirimkan surat lamaran kepadanya. Setelah didiskusikan dengan ketua adat dan dirundingkan dengan keluarga besar Hayati, akhirnya mereka sepakat untuk memilih Aziz sebagai suami Hayati, dengan mempertimbangkan bahwa Aziz merupakan keturunan Minang asli dan berasal dari keluarga terpandang. Hayati sangat bimbang dan diurung kesedihan. Ia tidak mampu melawan mufakat bersama. Dengan berat hati, ia menerima kenyataan pahit itu yang juga sekaligus menjadi langkahnya untuk mengingkari janji sucinya dengan Zainuddin. Musyawarah dan mufakat juga digambarkan berperan kuat dalam mengambil keputusan di keluarga Minang.

            Mendengar kabar buruk itu, membuat Zainuddin mengalami stress dan sakit selama beberapa hari. Tetapi semangatnya kembali membara sejak Muluk memberikannya nasihat dan motivasi. Perlahan, Zainuddin mulai mencoba melupakan Hayati. Dengan berbekal bakat sastra yang dimilikinya, ia mulai terjun ke dunia penulisan cerpen di surat kabar, hingga akhirnya cerpen-cerpen itu terkumpul menjadi sebuah novel berjudul “Teroesir” yang menggambarkan kisahnya  diusir dari Batipuh.

            Kesuksesan nampaknya semakin menghampiri Zainuddin saat novel “Teroesir” laris manis di pasaran dan Zainuddin dipercayakan untuk mengelola cabang sebuah perusahaan penerbitan di Surabaya. Perlahan namun pasti, puncak kejayaan dan popularitas diraih Zainuddin. Rumah besar berarsitektur Eropa, mobil, dan kemeja-kemeja mahal dibelinya. Di bagian ini penulis ingin menekankan bahwa jatuh dan terpuruk bukan berarti akhir segalanya namun merupakan langkah awal untuk meraih sukses.

            Di sisi lain, rumah tangga Hayati dan Aziz nampaknya tak seindah yang dibayangkan. Hayati sering diperlakukan kasar oleh Aziz yang sering berpergiaan dan berjudi dengan teman-teman Belanda-nya. Perlahan-lahan, harta Aziz pun habis dikuras oleh permainan judi. Agar menghindari hutangnya dan menjaga imej keluarganya, Aziz membohongi Hayati bahwa ia naik jabatan dan dipindahtugaskan ke Surabaya. Sekali lagi, takdir memang sulit diterka. Kebetulan novel “Teroesir” karya Zainuddin akan dioperakan, dan Aziz-Hayati pun diundang dalam acara Opera itu.

            Melihat Zainuddin yang sudah sukses dan kaya raya, membuat Aziz ingin memanfaatkannya. Dengan berpura-pura baik terhadap Zainuddin, Aziz meminta sejumlah uang untuk membayar hutangnya terhadap teman judinya. Namun, uang yang didapatkan Aziz tidak cukup untuk membayar hutangnya yang sudah selangit. Rumah Aziz-Hayati di Surabaya pun akhirnya disita. Mereka pun menginap di rumah Zainuddin yang disambut baik oleh Zainuddin sendiri, yang nampaknya sudah melupakan Hayati. Ia memperlakukan Hayati sebatas sahabat dan istri dari Aziz. Setelah seminggu menumpang di rumah Zainuddin, rasa malu akhirnya timbul di benak Aziz. Aziz ingin ke luar kota untuk mencari pekerjaan dan memohon kepada Zainuddin agar Hayati diperkenankan menetap di rumahnya sampai Aziz menemukan kerja.

            Tak dinyana, rasa malu dan hutang yang begitu banyak malah membuat Aziz putus asa dan bunuh diri di sebuah hotel, dengan sebelumnya telah menuliskan surat ke Hayati bahwa Aziz ingin menceraikan Hayati dan ingin Hayati kembali ke Zainuddin, cinta Hayati sesungguhnya. Hayati sangat terkejut dan shock mendengar kabar duka itu, begitu pula dengan Zainuddin.

            Di suatu kesempatan, Hayati datang kepada Zainuddin untuk mengatakan isi hati sesungguhnya, bahwa ia sebenarnya masih menyukai Zainuddin. Namun, bukan menanggapi isi Hayati dengan baik sebagaimana dulu ia mengagumi Hayati, Zainuddin malah menyindir Hayati dengan sumpah yang pernah diucapkan Hayati kepadanya, dan Hayati sendiri yang mematahkan sumpah itu dengan lelaki – yang tak lain dan tak bukan adalah Aziz. Hayati-lah yang meminta Zainuddin untuk melupakannya. Hayati-lah yang merobohkan mimpi indah Zainuddin untuk menjadi suami Hayati. Dan kini, setelah semua itu hancur, ketika Zainuddin sudah mencoba bangkit dari keterpurukannya, Hayati malah datang dan memintanya untuk menjalin cinta? Dengan sinis, Zainuddin pun menyuruh Hayati untuk pulang ke Batipuh – tanah dimana Zainuddin diusir. Ia membelikan Hayati tiket pulangnya menumpang Kapal Van Der Wijck. Dengan tangis haru penyesalan, Hayati pun menerima perlakuan yang diberikan Zainuddin.

            Keesokan harinya, Hayati berangkat ke pelabuhan dengan berat hati. Firasatnya seolah menangkap hal buruk yang akan terjadi. Kakinya seolah tertancap paku agar ia tidak usah pergi. Namun, apa mau dikata, ia tetap dengan langkah berat menaiki kapal raksasa itu seorang diri. Perjalan dari Surabaya ke Batipuh pun dimulai. Sebelum kapal itu berangkat, Hayati memberikan surat kepada Zainuddin yang dititipkan ke Muluk – orang yang mengantarkan Hayati ke pelabuhan.

            Hati Zainuddin sungguh teriris dan dipenuhi rasa sesal membaca surat Hayati yang sekaligus juga menjadi surat terakhir baginya. Karena, setelah hatinya bulat untuk mengajak Hayati kembali, Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati dikabarkan tenggelam. Sungguh, perasaan Zainuddin tercampur aduk dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera menuju ke rumah sakit korban kecelakaan kapal raksasa itu dan menemukan Hayati terbaring lemas di kasur perawatan. Dengan tangisan penyesalan Zainuddin meminta maaf kepada Hayati dan mengajak Hayati untuk kembali ke rumahnya. Tetapi, Tuhan berkehendak lain. Hayati pun mengehembuskan napas terakhir dipelukan Zainuddin.

III. Kelebihan
            Film ini menyajikan kisah yang diadaptasi dari novel angkatan klasik yang dikemas dengan menarik dan tetap mempertahankan unsur-unsur ethnic yang terkandung, seperti dialog antartokoh yang menggunakan bahasa daerah. Terutama Zainuddin yang berlogat Bugis. Film ini juga menyajikan suasana khas tahun 30-an dengan menggunakan pemeran figuran asing dan didukung dengan properti seperti uang, kendaraan, dan ejaan ala tahun 30-an.  Unsur komedi dan humor juga sedikit ditaburkan pada beberapa adegan sehingga penonton tidak bosan.

IV. Kekurangan
            Penggunaan logat asli Bugis yang diperankan oleh Zainuddin memang mempertahankan ciri ethnic yang terkandung, hanya saja logat yang diucapkan terdengar kurang natural dan malah terkesan lucu. Bahkan di saat-saat sedih pun, penonton menjadi tertawa ketika mendengar logat Zainuddin. Selebihnya  sudah baik dan hampir sempurna.

V. Kesimpulan
Film-film sejenis ini yang diadaptasi dari novel roman angkatan 20-an, 30-an, dan angkatan lainnya memang sebaiknya diproduksi. Apalagi dengan diadaptasinya roman-roman klasik menjadi film dapat menambah wawasan masyarakat Indonesia tentang sastra Indonesia berupa roman-roman klasik – yang terkesan membosankan untuk dibaca.  Dengan dibuatnya menjadi film, justru akan lebih menarik minat masyarakat untuk mengetahui sastra Indonesia tanpa harus membaca buku roman-roman klasik yang terkadang terkendala akan bahasa dan ejaan yang tetap dipertahankan pada novel-novel klasik.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu