Cerpen - Detik Terakhir (1)
“Detik demi detik akan terlewati hingga sampailah kita
pada sebuah detik istimewa, detik yang penuh tangis haru dan penyesalan. Detik
itu adalah detik terakhir.” - Wirawan
Miniatur-miniatur
pesawat tertata rapi di kamar yang bercat biru itu. Tampak seorang laki-laki
sedang berbaring pulas di kasurnya. Ia seolah tak sadar bahwa jam wekernya telah menunjukkan angka delapan. Jam
weker yang berbentuk pesawat itu terus saja berdering membangunkan Randy yang
tengah terlelap pulas. Tak lama kemudian, terlihatlah sesosok wanita yang tak
lain adalah Bundanya, masuk ke kamar minimalis
itu dan membangunkan putranya yang telah beranjak dewasa.
“Randy....!!!! Ayo bangun!!! Udah
kesiangan ini!” ucap sang bunda sambil
mendorong ringan tubuh putranya.
“Iya, Bun!!! Randy ngantuk sekali
hari ini, Bun!!” jawab Randy dengan separuh sadar.
“Iya, tapi bagaimanapun kamu harus
kuliah kan hari ini?! Ayo buruan mandi!” tegas bundanya.
Dengan berwajah ngantuk ia berdiri
dan segera menuju kamar mandi yang ada di kamarnya. Sementara itu, bundanya
tampak keluar dari kamar dan pergi ke dapur. Sebenarnya, Randy tidak pernah
mengalami kantuk yang luar biasa seperti ini. Ia selalu bangun tepat waktu.
Namun tidak untuk kali ini. Andai ia tidak bergadang untuk mengerjakan tugas
kuliahnya, mungkin ia tidak akan telat bangun seperti ini.
Setelah berpakaian, ia segera menuju
Vios-nya sambil berpamitan dengan
bundanya. Mobil ia kemudikan dengan cepat agar tiba di kampus tepat waktu.
Namun, sepertinya ia tak akan mungkin tiba tepat waktu karena sudah telat 10
menit dari waktu biasanya. Setibanya di kampus, ia tampak memarkirkan mobilnya
di halaman kampus Teknik Penerbangan. Ketika ia keluar dari mobilnya, ia
bertemu dengan Indra, teman sekampusnya yang juga terlihat terburu-buru.
“Hei, Bro! Tumben telat datang, udah
sama kayak gue nih! Hehehe” canda Indra.
“Hahahaha, biasa, bergadang kerjain
tugas! Hehehehe” jawab Randy.
“Oooo, yaudahlah , ayo ke kelas. Kalau sampai telat masuk, bisa bahaya nilai kita!”
ajak Indra.
“Iya, cepat, Bro!” tanggap
Randy.
Mereka pun dengan secepat kilat
berlari ke kelas mereka. Untung Pak Farhan, dosen yang terkenal killer itu belum masuk mengajar di
kelas. Jadi, mereka pun terselamatkan. Di sela-sela pelajaran, tiba-tiba datang
sekelompok mahasiswa dan mahasiswi yang meminta izin kepada Pak Farhan untuk
mewawancarainya. Tampaknya mereka adalah mahasiswa dan mahasiswi sastra yang
sedang melakukan kegiatan praktik.
“Jadi, ketika melakukan
penerbangan...” jelas Pak Farhan yang penjelasannya terpotong oleh sekolompok
mahasiswa-mahasiswi yang sedang mengetok pintu kelas.
“Pak, permisi. “ ucap seorang
mahasiswa berambut mohak.
“Iya, silakan masuk!” tanggap Pak
Farhan.
“Begini, Pak. Kami dari mahasiswa-mahasiswi
jurusan Ilmu Komunikasi, ingin melakukan tugas praktik wawancara. Kalau Bapak
tidak keberatan, boleh kah kami mewawancarai Bapak?” tanya mahasiswa lainnya.
“Ooo.., tentu saja boleh! Tapi hanya
lima menit ya!” jawab Pak Farhan.
Berbeda halnya dengan temannya yang lain yang asyik
bicara sembari menunggu Pak Farhan diwawancara, Randy malah termenung.
Tatapannya tertuju pada seorang gadis yang berdiri mewawancarai Pak Farhan.
Gadis berbaju hijau dan berabut panjang itu seolah menghipnotis Randy dengan
kecantikannya.
****
Di kantin...
Randy
dan Indra seperti biasa menghabiskan waktu untuk mengisi perut di kantin
kampusnya. Bakso, mereka pesan dan mereka santap dengan perlahan sambil
ditemani teh botol. Saat Randy memasukkan bakso ke mulutnya, bakso tersebut
tiba-tiba termuntah keluar kembali. Mungkin ia terkejut, melihat perempuan yang
masuk di kelasnya tadi juga berada di kantin. Perempuan itu duduk tak seberapa
jauh dari bangku mereka.
“We,
Bro! Kenape lo? Kesambet setan?”
canda Indra.
“Hahahaha...
nggak kok. Cuman tersedak aja!!!” jawab Randy.
“Alaaaahhh....
bohong pastiii... lagi mikiriin someone
yaa? Ayo ngaku...” ucap Indra dengan
nada ngesalin. Ia sepertinya dapat menebak isi otak Randy.
“Yahhh,,,,
udalah... yok cabut! Kita ke perpus aja. Lo lupa kalau kita ada tugas dari Buk
Jessy?” ujar Randy seperti mengalihkan pembicaraan.
“Yaelahhh....
tanggung nih... baru aja dibeli nih bakso. Habisin dulu aje nape?”
“Udalah...
ayo... tugas lebih penting!! Ntar dihukum baru tau rasa lo!”
“Yoweesslah!!!
Yok cabut!!!”
Mereka
pun segera menuju perpustakaan, dan mulai mencari buku tentang teknik
penerbangan. Laptop mulai mereka keluarkan dan mulai mengetik dan mengerjakan
tugas mereka. Sambil mengerjakan tugasnya, Randy tiba-tiba bertanya ke Indra
tentang perempuan yang masuk ke kelas mereka tadi.
“Dra, lo
tau nggak nama cewek yang masuk ke kelas kita tadi?” tanya Randy.
“Cewek
yang masuk kelas kita ada banyak, Sob!” jawab Indra yang gak connect dengan pertanyaan Randy.
“Aduhhh....
maksud gue, cewek yang wawancarai Pak
Farhan tadi loh!” terang Randy.
“Oooo... yang pake baju hijo ya?”
“Nahhh,
iyaaa!!! Lo tau nggak siapa namanya?”
“Emang
kenapa? Tumben lo tanyain dia... jangan-jangan....”
“Alahhh,
biasa lah, Bro! Lo tau nggak siapa namanya?”
“Hahahaha....
Taulah.... orang dia teman gue. Namanya Gita. Gita Rasya Putri. Dia tuh anak
Ilmu Komunikasi.” jawab Indra yang membuat Randy senyam-senyum.
“Oooo...
jadi Gita ya namanya? Masa sih lo udah kenal sama dia?” tanggap Randy.
“Iye..
serius! Orangnya terbuka kok. Mudah diajak temanan. Kami aja pertama kali kenal
pas lagi beli es krim di Baskin. Dia
kekurangan uang, jadi minjam deh sama gue yang kebetulan di sebelahnya.
Hehehehhe” jelas Indra.
“Wisss....
gile lo! Beruntung banget lo ya! Gue
mau juga tuh jadi temannya!!”
“Mau
jadi temannya? Boleh-boleh aja.. tapi nggak boleh lebih loh, dia udah punya
pacar!!”
Mendengar
kalimat itu, hati Randy bak disambar petir. Ia tidak menduga bahwa perempuan
itu , Gita, telah berpacaran. Padahal tujuannya adalah ingin berkenalan dan menembaknya menjadi pacarnya. Raut muka Randy yang tadinya riang sontak
berubah menjadi murung. Harapan untuk menjadi pacar Gita telah pupus. Namun, di balik kegundahan hatinya itu, masih
ada harapan untuk menjadi teman atau bahkan sahabat Gita.
“Ran, lo ngapain? Kok langsung pucat?” tanya
Indra yang membangunkannya dari kemurungan dan keputusasahan.
“Cemburu
ya? Biasa aja kali, walau Gita udah pacaran, kan lo masih bisa jadi
temannya...” sambung Indra.
“Haa...
ngak kok! Cuman mikirin cara biar bisa kenalan sama dia... Hahahaha... siapa
yang cemburu? Eeee... ngaur..” jawab Randy.
****
Keesokan
harinya, lagi-lagi Randy harus pergi ke perpustakaan untuk menyelesaikan
tugasnya. Ia langkahkan kakinya menuju deretan buku mengenai penerbangan.
Konsentrasi ia perlukan untuk mencari kembali buku yang mungkin terselip di
antara ratusan buku lainnya. Ketika ia ingin mengambil buku yang dicarinya,
tampak sebuah buku yang terjatuh tepat di kakinya. Ia pun menunduk dan
mengambil buku itu. Tak disangka, tangan seorang wanita juga berpasan dengan
tangannya saat mengambil buku itu. Wanita itu ialah Gita. Wanita yang diincar
Randy.
“Upss,
sorry!” ujar Randy salah tingkah.
“Iya,
gak apa-apa. Justru aku yang minta maaf, sudah menjatuhkan buku di kakimu.”
Balas Gita.
“Nih
bukunya.” ucap Randy sambil memberikan buku biografi seorang pilot ternama.
“Iya,
terima kasih ya..” jawab Gita
“Hahahha...
sama-sama” balas Randy.
Mereka
pun duduk di sebuah meja yang diduduki mahasiswa lainnya.
“BTW,
nama kamu siapa?” Randy membuka pembicaraan dengan berpura-pura tidak tahu.
“Oh iya,
aku Gita, anak Sastra Indonesia. Kamu sendiri?”
“Gue
Randy. Anak Teknik Penerbangan.”
“Oooo...
pantes baca buku itu... Hahahaha aku kirain kamu anak Ekonomi.”
“Hahahaha,
ngak lah. Gue ngak suka dengan ekonomi. Pusing. Hehehe. Kamu sendiri kok baca
buku itu? Kamu kan anak Sastra?”
“Hahahaha...
biasa, tugas meresensi buku. Materi semester ini. Hahahaha”
“Oooo...
Hahahaha... Iyalah... Senang bisa kenalan sama kamu..”
“Hahahaha...
aku juga senang bisa kenal sama kamu. Kamu orangnya humoris yaaa... Hehehe“
“Wah...
biasa aja kaliii”
Waktu
mereka habiskan untuk mengerjakan tugas masing-masing di perpus. Sebenarnya,
Randy sengaja tidak menanyakan mengenai pacar ke Gita. Ia tidak mau mendengar
kenyataan pahit itu lagi. Walau kenyataan itu tak dapat diubah.
Seusai
mengerjakan tugas di perpus, ia segera pergi ke kantin untuk menemui Indra. Ia
ingin memberitahukan kabar gembira bahwa ia telah berkenalan dengan Gita.
“Bro,
gue barusan kenalan dengan Gita!!!” teriak Randy di telinga Indra.
“Shit!!!
Gile lo ya! Teriak di telinga gue!” ucap Indra dengan intonasi marah.
“Heheheh...
santai, Bro!!! Gue traktir deh lo... Mumpung gue lagi senang..” kata Randy
sambil meredakan maranya Indra.
“Benar
nih? Oke deh... Mas, batagornya 1 sama teh es ya!” ucap Indra sambil memesan
makanannya. “Emang kalian kenalan di mana?” sambungnya.
“Di
perpus, kebetulan dia juga mau kerjain tugasnya...” jawab Randy.
“Bagus
deh... tapi lo jangan sering-sering sama dia deh! Lo tau kan dia udah punya
cowok?” ingat Indra ke Randy.
“Iya-iya..
cuman sebatas teman kok! Emang cowoknya anak mana?”
“Cowoknya
anak Ekonomi. Kalau dia tau lo dekat-dekat sama ceweknya, dia ngak segan-segan
habisin lo!” ujar Indra dengan nada bercanda.
“Gue
ngak takut! Orang gue sama Gita cuman temanan..”
“Iya-iya!
Gue tau! Kan gue sebagai sahabat cuman mau ngingatin lo!”
“Hahahaha...
iya dehh! Thanks ya, Bro!” ucap Randy sambil mengajak Indra untuk mengetos
tangan mereka.
****
Semenjak
perkenalan itu, hubungan pertemanan Randy dan Gita semakin membaik. Randy,
Indra dan Gita sering terlihat bersama-sama ke perpustakaan dan kantin. Namun,
semenjak mereka bersama, Randy sama sekali tidak pernah bertemu dengan cowoknya
Gita. Ia sempat penasaran, siapa sih cowok Gita? Apakah lebih keren darinya? Ia
juga sempat menaruh rasa curiga terhadap cowok Gita. Masa sudah berpacaran
tidak pernah menemani ceweknya? Namun, semua rasa penasaran dan curiganya
selalu ia pendam.
Hari
Minggu, hari di mana ia bebas dari tugas kampusnya. Hari inilah yang
dimanfaatkan Randy untuk berburu kaus baru, karena Randy adalah pengoleksi
kaus. Tak peduli seberapa mahal apa pun kaus itu, pasti akan ia beli. Terutama
kaus yang berwarna coklat dan putih, ia sangat menggemarinya.
Hari
itu, ia pergi ke mal sendirian. Seperti biasa, ia ingin membeli kaus baru dari
sebuah distro langganannya. Eskalator ia naiki untuk menuju lantai 3 - tempat
distro favoritnya berada. Saat sedang berjalan santai menuju lantai 3, ia
melihat seseorang yang terlihat tak asing baginya. Iya, orang itu adalah Gita.
Namun, kali ini Gita tidak sendirian, ia datang bersama pacarnya, Mario.
Randy
pun tanpa berpikir dua kali, langsung menegur mereka yang sedang berjalan di
depannya.
“Gita...!”
sahut Randy.
Gita dan
Mario lalu menghadap ke belakang.
“Eh,
Randy? Wahh... datang sama siapa nih?” tanya Gita.
“Sendiri
aja.. Hahahaha... Kamu sendiri?” jawab Randy.
“Oh iya,
ini kenalin, Mario, pacar aku. Mario, ini kenalin Randy, teman aku.” Ucap Gita
yang sekaligus berbicara ke Randy dan Mario.
“Kenalin,
gue Randy.” kata Randy ke Mario.
“Gue
Mario.” balas Mario singkat.
“Yuk,
Yang, kita pergi!” ucap Mario ke Gita.
“Yaudah
deh, Ran. Kami duluan ya!” sahut Gita ke Randy.
“Iya,
gue juga mau ke atas...! Bye” tutup Randy.
Akhirnya,
rasa penasaran Randy terhadap pacar Gita terjawab juga. Ternyata, Mario yang
berambut mohak dan berkaus hitam itu
tidak lebih keren darinya. Randy cukup berbangga akan hal itu. Kemudian, ia
melanjutkan langkahnya menuju distro baju incarannya.
Masuk ke
distro itu, Randy melihat ratusan baju tersusun dan tergantung rapi di rak-rak
pajangan. Tampak pula perlengkapan lain seperti tas, sandal, sepatu, topi,
kemeja dan pakaian lainnya yang menarik Randy untuk membelinya. Randy
memfokuskan pilihannya pada kaus. Setelah lebih kurang lima belas menit
memilih, enam kaus pun akhirnya terbeli. Ia lantas bergegas pulang.
Dengan menaiki Vios
kesayangannya, ia keluar dari parkiran. Mobil ia lajukan ke pintu keluar yang
dekat menghadap ke bagian dalam sebuah restoran. Sambil menunggu antrean
keluar, ia menatap ke bagian dalam restoran itu. Namun, lagi-lagi matanya
dikejutkan dengan seorang pria yang tampaknya ia kenal. Ia yakin, baru saja ia
berkenalan dengan pria itu. Pria itu adalah Mario, yang sedang duduk dan makan
berduaan dengan cewek lain. Cewek itu tampak dengan jelas bukanlah Gita. Yang
membuat Randy emosi, Mario tidak hanya makan seperti biasa, tetapi Mario juga
menyuapi perempuan asing itu. Randy sangat marah dengan apa yang dilikukan
Mario karena telah menghianati Gita, temannya. Ia jengkel. Ingin rasanya ia
memotret kejadian itu, tapi apalah daya, mobilnya sudah diklakson pengendara lain
yang antre di belakang mobilnya. Ia hanya bisa pulang dengan menyimpan rasa
jengkel. Sebetulnya, Randy ingin sekali menumbuk pria brengsek itu apabila ia
berada di dalam tempat tadi.
Bersambung...
Comments
Post a Comment