Belajar Menyikapi Perbedaan dari Seorang Atthasilani


Wanita yang sedang bersujud di altar Buddha ini, berbalut jubah serbaputih. Rambutnya dicukur pendek, nyaris gundul. Pemandangan yang tidak biasa untuk seorang wanita. Ia tidak bersolek, hidup sederhana tanpa harta, dan berpuasa selepas pukul 12 siang. Dalam agama Buddha, wanita yang menjalankan hidup sepertinya disebut sebagai seorang atthasilani. 

Ia bernama Atthasilani Thiranandi atau lebih akrab disapa Sila Thira. Perempuan kelahiran Banyuwangi, 19 Mei 1990 ini sudah berkeinginan menjadi atthasilani sejak ia duduk di bangku kelas 5 SD. Saat itu ia melihat kakak kelasnya mengikuti program pelatihan atthasilani-sementara di daerahnya. Usai mengikuti program itu, kakak kelasnya mengalami perubahan dalam hal sikap. Ini yang ingin dimiliki Sila Thira ketika itu. Hanya saja, ia merasa belum memiliki waktu yang tepat untuk mengikuti program pelatihan atthasilani-sementara saat itu.

Atthasilani Thiranandi saat diwawancarai pada Rabu (29/11) di cetya Sekolah Dharma Puta, Tangerang. Foto oleh Ruby Gunawan.

Berawal dari program kuliah

Kemudian ketika Sila Thira duduk di bangku SMA kelas dua, ia mendapat informasi mengenai program pendidikan yang berbasis asrama. Ia sangat antusias karena tinggal di asrama sudah menjadi keinginan anak tunggal di keluarganya ini.

“Tapi syaratnya satu, harus tinggal di wihara dan menjadi seorang atthasilani,” tutur Sila Thira.

Walaupun ia harus merelakan rambutnya digunduli, Sila Thira dengan antusias menerima tawaran dari program pendidikan itu. Oleh karena itu, ketika lulus SMA, Sila Thira langsung berangkat ke Malang dan mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertarajasa, Malang.

Ia menambahkan untuk menempuh pendidikan di STAB Kertarajasa dan menjadi atthasilani, ia harus mendapat persetujuan dari orang tua. Saat itu, orang tuanya sangat terbuka dan merespons baik keinginan Sila Thira. Tujuan Sila Thira saat itu hanya satu, yakni ingin belajar. Namun setelah empat tahun kuliah, tibalah saat yang membuat Sila Thira gundah, yakni memilih lanjut menjadi atthasilani atau berhenti dan kembali ke kehidupan awam. 

Sila Thira sempat bertanya ke orang tuanya bahwa program pendidikannya sudah selesai dan sudah boleh kembali menjadi umat awam jika diinginkan. Orang tuanya saat itu malah menyerahkan penuh keputusan untuk lanjut menjadi atthasilani atau tidak kepada Sila Thira sendiri. 

“Saya masih nyaman menjadi seorang atthasilani,” ungkap Sila Thira ketika memilih lanjut menjadi seorang atthasilani. Sila Thira dan satu temannya lagi menjadi dua dari sepuluh orang atthasilani di angkatannya yang memilih lanjut menjadi atthasilani. Mereka yang memilih lanjut menjadi atthasilani artinya sudah berkomitmen untuk hidup selibat alias tidak menikah.

Kehidupan sebagai seorang atthasilani

Sebenarnya kehidupan yang dijalankan atthasilani tidak jauh berbeda dengan kehidupan orang awam dalam agama Buddha. Jika orang awam dalam agama Buddha hanya menjalankan pancasila atau lima latihan moral, yakni tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak berbohong, dan tidak mengonsumsi zat adiktif dan memabukkan, seorang atthasilani harus menjalankan atthasila atau delapan latihan moral. 

Dari lima sila pada umat awam, ada penambahan tiga latihan lagi, yakni tidak makan selewat pukul 12 siang, tidak berhias diri dan mengenakan perhiasan, serta tidak tidur di tempat yang mewah.

Sila Thira mengaku, interaksinya dengan masyarakat adalah proses yang gampang-gampang sulit.

“Ada yang menerima, ada yang mungkin asing, mungkin dicuekin, ada yang welcome, itu sudah saya rasakan,” ujarnya.

Ada banyak perubahan yang dirasakan Sila Thira setelah menjalani kehidupan sebagai seorang atthasilani. Ia mengaku dulunya ia orang yang egois, apalagi dengan fakta bahwa ia adalah seorang anak tunggal. Sejak menjadi atthasilani, ia lebih banyak berlatih mengendalikan diri sehingga tingkat keegoisannya bisa berkurang. 

Pandangan mengenai keberagaman

Sebagai sosok yang tidak banyak dijumpai di Indonesia yang penduduknya bukan mayoritas Buddhis, perbedaan yang dimiliki Sila Thira memang mencolok. Akan tetapi, perbedaan yang dimiliki Sila Thira tidak membuatnya enggan berinteraksi dengan masyarakat. Ia mengatakan perbedaan adalah bagian dari kenyataan hidup.

“Kembar pun, tidak sama. Yang ada hanyalah mirip,” ujarnya.

Yang paling penting menurut Sila Thira adalah sikap saling memahami dan menerima perbedaan sebagai bagian dari kenyataan hidup.

“Dengan adanya pemahaman seperti itu, kemudian kita renungkan, kita praktikkan, maka keharmonisan akan terjalin dengan baik,” pesan Sila Thira tentang pentingnya menyikapi perbedaan dengan bijaksana. 

_________
Penulis.            : Wirawan
Videografer     : Ricky Martin
Video Editor    : Ruby Gunawan


Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu