Arca Buddha yang berwarna emas di Vihara Sikkhadama Santibhumi, pada Minggu (3/12) (Wirawan/UMN)
Ayat demi ayat suci berbahasa Pali berkumandang dengan indah di tempat ini. Ada arca Buddha, yang berwarna emas dengan posisi meditasi, terletak di bagian depan, membuat suasana ibadah di Vihara Sikkhadama Santibhumi semakin sakral.
Di hari yang sama, di tempat yang berbeda, suasana yang sakral juga tampak. Seorang umat menyalakan tiga batang dupa, memberikan penghormatan kepada Nabi Kongzi dan para dewa. Di sini, ornamen-ornamen khas Tionghoa mudah sekali dijumpai. Siapa pun yang melintas di jalan di depannya dapat dengan mudah membaca nama tempat ini, yakni Khongcu Bio, kelenteng tempat umat Khonghucu beribadah.
Papan bertuliskan nama Khongcu Bio, yang terletak di Jalan Kisamaun, Kota Tangerang, pada Minggu (3/12). (Raisya Tamimi / UMN)
Ramajaya, pengurus Kelenteng Khongcu Bio sedang bersembahyang di altar utama Nabi Kongzi pada Minggu (3/12) (Raisya Tamimi / UMN)
Dari namanya saja, kedua tempat ini sudah jelas berbeda. Yang satu menggunakan nama khas bahasa Pali, sedangkan yang satu lagi menyandang nama yang identik dengan bahasa Tionghoa. Yang satu merupakan tempat ibadah umat Buddha, yang satu lagi adalah tempat ibadah umat Khonghucu. Namun sayangnya, perbedaan ini belum bisa sepenuhnya diketahui oleh masyarakat pada umumnya.
Ketika menyebut nama “vihara”, tidak sedikit yang menyematkannya dengan bangunan merah berornamen Tionghoa. Padahal bangunan merah yang dimaksud adalah kelenteng. Tidak heran kekeliruan ini terjadi. Menurut Rio Dwi Aryanto, pengurus Kelenteng Khongcu Bio, kekeliruan ini terjadi karena masalah politik di zaman dulu.
“Dulu di zaman Soeharto itu, agama Khonghucu itu dilarang. Sehingga banyak kelenteng yang notabene adalah tempat ibadah agama Khonghucu, beralih namanya, berganti nama menjadi vihara,” ujar Rio.
Arca Nabi Kongzi di altar utama Kelenteng Khoncu Bio pada Minggu (3/12). (Raisya Tamimi / UMN)
Yang dimaksud Rio adalah Inpres Nomor 47 Tahun 1967 yang melarang adanya agama kepercayaan dan kebudayaan Tionghoa. Ia mengatakan kebijakan tersebut berimbas pada persepsi masyarakat zaman sekarang yang menganggap kelenteng dan vihara sama. Padahal keduanya sangat jelas berbeda.
Ketua Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia Daerah Banten, Pdt. Dhammawan, yang biasanya disapa Romo Dhammawan, membenarkan perbedaan tersebut. “Biasanya itu pasti ada ornamen-ornamen, yang seperti naga yang melilit di tiang. Itu adalah ciri-ciri dari kelenteng,” ujar Romo Dhammawan. “Tapi kalau di vihara, tidak ada,” sambungnya.
Dua patung naga menghiasi gerbang masuk di Kelenteng Khongcu Bio, pada Minggu (3/12). (Raisya Tamimi / UMN)
Romo Dhammawan menjelaskan bahwa di vihara hanya ada patung Buddha saja. Ornamen di vihara pun menyesuaikan dengan kebudayaan tempat vihara dibangun. Di Indonesia, kebanyakan vihara memiliki ornamen seperti stupa ala Candi Borobudur.
Selain dari segi nama dan bentuk bangunan, vihara dan kelenteng juga dibedakan dari segi tata cara ibadah. Ibadah di vihara dilakukan dengan membacakan paritta-paritta suci berbahasa Pali, atau beberapa vihara dari aliran berbeda juga ada yang membacakan sutra-sutra suci berbahasa Sanskerta. Umat Buddha biasanya beribadah di vihara setiap Minggu. Setelah membacakan paritta-paritta suci, ibadah akan dilanjutkan dengan meditasi bersama. (Baca Tata Ibadah dalam Agama Buddha)
Wirawan, anggota tim liputan, sedang beribadah di vihara dengan membacakan paritta suci pada Minggu (3/12) (Raisya Tamimi / UMN)
Ibadah bersama di kelenteng biasanya berbeda-beda harinya, tergantung kebijakan masing-masing kelenteng. Di Kelenteng Khongcu Bio, ibadah bersama dilakukan tiap Jumat malam. Namun, Ramajaya Janitra, yang juga merupakan pengurus Kelenteng Khongcu Bio, mengatakan bahwa di luar ibadah bersama, umat Khonghucu juga bisa beribadah sendiri di kelenteng dengan melakukan pai-pai atau memberikan penghormatan kepada para dewa.
Meskipun berbeda, tidak sedikit dijumpai vihara yang berdiri beriringan dengan kelenteng. Contohnya saja seperti Vihara Padumutara yang berdiri tepat di samping Kelenteng Boen Tek Bio di Tangerang, atau seperti Vihara Nirmala yang berdiri di dalam kompleks Kelenteng Boen San Bio, yang juga terletak di Tangerang.
Sekarang, perbedaan vihara dan kelenteng jadi semakin jelas, bukan? Simak video perbedaan vihara dan kelenteng di sini:
Ibadah merupakan hal yang mendasar, yang dilakukan setiap umat beragama. Umat Islam menjalankan salat bersama di masjid, umat Katolik mengikuti misa dan umat Kristen mengikuti kebaktian setiap hari Minggu di gereja, umat Hindu bersembahyang di pura, umat Khonghucu bersembahnyang di kelenteng dan litang. Lantas bagaimana cara umat Buddha beribadah? Ibadah umat Buddha disebut puja bakti. Tidak jarang ada yang menyebut kebaktian dan chanting . Puja bakti biasanya dilakukan rutin setiap hari Minggu di vihara. Tata ibadah puja bakti berbeda-beda sesuai dengan aliran dan sekte masing-masing. Kali ini, penulis akan memberi tahu tata ibadah dalam agama Buddha aliran Theravada. Puja bakti bakti dimulai dengan salam pembuka yang diucapkan pemimpin kebaktian. Pemimpin puja bakti biasanya adalah pandita (romo/ramani) atau sesekali dipimpin oleh muda-mudi. Pemimpin puja bakti lalu mempersilakan umat untuk berlutut dan beranjali (sikap merangkapkan tangan di depan dada). Lalu d...
Bahasa Indonesia memiliki banyak afiks atau imbuhan, baik dari unsur bahasa Indonesia, maupun dari pengaruh bahasa lain. Pada kesempatan kali ini, kita akan mempelajari mengenai afiks /-isme/, /-is/, /-isasi/, /-itas/. Keempat afiks tersebut, tentu saja memiliki fungsi dan makna yang berbeda. Coba lihat penerangan di bawah ini: 1. Afiks /-isme/ Fungsi afiks /-isme/ untuk membentuk kata benda yang memiliki arti aliran atau paham. Contoh: natular isme , simbol isme 2. Afiks /-is/ Fungsi afiks /-is/ untuk membentuk kata sifat yang memiliki arti bersifat seperti kata dasarnya. Contoh: ego is , krit is 3. Afiks /-isasi/ Fungsi afiks ini adalah untuk membentuk kata benda yang memilii arti proses atau hal yang sangat berhubungan dengan kata dasarnya. Contoh: organ isasi , global isasi 4. Afiks /-itas/ Fungsi afiks ini adalah untuk membentuk kata sifat yang memiliki arti bersifat seperti kata dasarnya. Contoh: ambigu itas , loyal i...
Gulraj Singh, dewan pembina Sikh Temple Pasar Baru, saat menjelaskan tentang agama Sikh kepada tim liputan pada Jumat, 15 Desember 2017. (Raisya Tamimi / UMN) Lelaki itu mengenakan serban berwarna hitam. Janggut dan kumis yang sudah memutih dibiarkan tumbuh menghiasi wajahnya. Di tangan sebelah kanan, ada gelang besi berwana perak yang melingkari pergelangannya. Namanya Gulraj Singh. Ia merupakan putra salah satu pendiri Sikh Temple Pasar Baru, tempat ibadah agama Sikh yang tertua di bilangan Jakarta Pusat. Pagi itu ketika menyambut kedatangan tim liputan, Gulraj baru saja menyelesaikan ibadah pagi berjemaah. Sebagian besar laki-laki pemeluk agama Sikh memang berpenampilan seperti Gulraj Singh. Rambut yang tidak dipotong dan ditutupi serban; janggut yang dibiarkan tumbuh; dan gelang besi di tangan kanan adalah identitas budaya yang mereka perlihatkan. Selain identitas berupa penampilan, pemeluk Sikh juga bisa dikenali melalui nama belakang mereka. “U...
Comments
Post a Comment