Miris dan Tragis Dampak Philip Morris

Sebuah adegan di film dokumenter Sex, Lies, and Cigarette membawa ingatan saya ke belasan tahun silam. Saat itu, paman saya menyuruh membelikan sekotak rokok di warung yang tidak jauh dari rumah, persis seperti adegan anak kecil di film yang disuruh membeli rokok. Sebagai imbalannya, saya akan diberikan uang kembaliannya. Tentu sebagai anak kecil pada saat itu, saya amat senang dan semangat tiap kali disuruh membeli rokok olehnya. Mungkin itu yang anak kecil itu rasakan tiap kali disuruh membeli rokok dan mendapatkan imbalan. 

Berdasarkan paparan pada film dokumenter tersebut, sudah menjadi pemandangan yang wajar di Indonesia apabila anak-anak di bawah umur membeli rokok—entah itu untuk orang tua, paman, atau mirisnya, untuk diri sendiri. Fenomena ini berbanding terbalik dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Di sana, memperjualbelikan rokok pada anak di bawah umur adalah kegiatan illegal. 

Kondisi yang terjadi di Indonesia semakin diperparah dengan viralnya video amatir yang memperlihatkan seorang bocah sedang merokok dengan gaya seolah-olah seperti orang dewasa. Bocah itu menghembuskan asap rokok dengan bangganya. Ironisnya, pada video tersebut, bocah itu merokok di depan orang tuanya sendiri. 

Christof Putzel, reporter pada film dokumenter Sex, Lies, and Cigarette tidak kalah kaget ketika diajak Ita Rahma, aktivis anti-rokok, ke sebuah sekolah yang dihiasi warung rokok tepat di sampingnya. Ia dengan mudah menemukan anak-anak SMP membeli rokok dan menghisapnya tanpa rasa takut dan malu. Ketika diwawancara mengapa merokok, salah satu jawaban mereka yang menyentil adalah, “because I am a cowboy.” Ini persis seperti salah satu iklan rokok yang menampilkan sosok cowboy sebagai ikonnya. 

Dokumenter ini juga menunjukkan pemandangan jalanan di Indonesia yang banjir iklan rokok. Beriklan memang wajar-wajar saja dalam dunia bisnis. Namun yang menjadi permasalahan adalah pesan-pesan yang disampaikan iklan rokok cenderung menyajikan imaji tentang petualangan, kejantanan, ketangguhan, kebebasan, dan semangat muda. Pesan-pesan ini seolah-olah ingin mengejar anak muda sebagai target utamanya. 

Dugaan-dugaan semacam ini memang boleh saja timbul. Apalagi didukung oleh maraknya konser-konser musik ala anak muda yang disponsori oleh merek rokok. Christof Putzel membuktikan langsung dengan datang ke sebuah konser musik yang dihadiri oleh ribuan remaja. Sudah bisa ditebak, spanduk dan poster iklan rokok menghiasi area konser. 

Penasaran apakah sasaran utama perusahaan rokok memang anak muda atau bukan, Christof Putzel mendatangi langsung kantor Philip Morris di Indonesia. Ia bertemu dengan Anne Edwards, juru bicara perusahaan tersebut. Secara tegas Anne mengatakan bahwa target mereka bukanlah anak muda, melainkan orang dewasa. 

Namun, pernyataan Masli, mantan karyawan Philip Morris di Indonesia yang kini mengajar periklanan, mematahkan pernyataan Anne Edwards. Ketika ditanya siapa target utama Philip Morris, tanpa ragu Masli menjawab, “the young one.” Masli mengatakan industri rokok selalu berpikir pemerintah cepat atau lambat akan mengeluarkan regulasi baru terkait rokok. Jadi industri rokok mengantisipasinya dengan menginvestasikan kaum muda agar kaum muda lebih “aware” dengan brand rokok, menggunakannya, hingga akhirnya kecanduan. 

Tulisan “merokok membunuhmu” yang ada di bungkus rokok seolah hanya menjadi hiasan belaka. Remaja yang merokok karena gengsi seakan-akan tidak menghiraukan peringatan  itu. Mereka lebih mementingkan gengsi daripada nyawa. Di saat yang dewasa banyak yang ingin berusaha berhenti merokok, yang muda malah coba-coba merokok. 

Padahal, kasus demi kasus kematian akibat rokok tidak bisa dibilang sedikit. Salah satu kejadian yang diliput pada film dokumenter The Tobacco Industry is Burning a Hole in Indonesia's Population, misalnya. Pada film tersebut, kejadian malang menimpa Khasidoh. Perempuan berusia 25 tahun, yang baru dikarunia anak berusia satu tahun, harus merenggang nyawa dengan status perokok pasif. Ia terkena kanker paru-paru karena tinggal di keluarga perokok. 

Tidak hanya kisah Khasidoh, film dokumenter tersebut juga menampilkan kisah penderita penyakit akibat rokok lainnya, yakni Ujang Widodo. Ujang diketahui sudah merokok sejak masih remaja dan sekarang di usianya yang keempat puluh lima, ia divonis menderita kanker paru-paru. Satu kata yang Ujang lontarkan ketika diwawancara, yang saya yakin juga akan dilontarkan saat remaja-remaja perokok terkena efek merokok, adalah: menyesal. Penyesalan memang akan selalu datang belakangan.

Pemerintah bukannya tidak mau mencabut izin perusahaan rokok yang memang secara nyata membawa dampak buruk bagi kesehatan. Namun ada pertimbangan lain yang harus diperhitungkan. Perusahaan rokok memperkejakan ratusan ribu pekerja. Perusahaan rokok juga menyumbang pemasukan yang  cukup besar bagi negara. Itu sebabnya, ketika disinggung oleh jurnalis di film dokumenter he Tobacco Industry is Burning a Hole in Indonesia's Population, Menteri Kesehatan saat itu, Siti Fadila Supari, terbatah-batah dan tidak banyak berkomentar.

Mulai dari iklan rokok yang bertebaran di setiap sudut jalan, imaji semu dari slogan iklan rokok, pelajar yang kecanduan rokok, bahkan seorang bocah perokok sebenarnya mengantarkan kita pada satu kenyataan bahwa sungguh miris dan tragis dampak yang dibawa perusahaan sejenis Philip Morris. 

Semestinya dengan menonton kedua film dokumenter ini, remaja dan kaum muda sadar bahaya merokok. Remaja dan kaum muda harus lebih cerdas dan bijak, memilih yang mana yang lebih penting: gengsi atau nyawa. Jangan sampai kisah tragis Khasidoh dan Ujang terjadi lagi. Remaja dan kaum muda harus mengerti bahwa imaji tentang petualangan, kejantanan, ketangguhan, kebebasan, dan semangat muda hanyalah muslihat orang-orang cerdas di balik iklan rokok.

Setelah menonton kedua film, saya lantas bersyukur. Kedua orang tua saya bukan perokok. Meskipun sering disuruh membeli rokok oleh paman ketika saya kecil, saya bersyukur tidak ada kemauan merokok yang timbul dalam diri. Saya berkomitmen tidak mau, tidak akan, dan tidak sudi mencicipi rokok. Apalagi setelah melihat kedua film dokumenter ini.


Apakah komitmen saya bisa dimiliki oleh remaja dan kaum muda di masa mendatang? 

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu