Menyorot Toleransi Ala Masjid Tertua di Tangerang

Pemakaman yang menghiasi halaman depan Masjid Jami' Kalipasir, Jalan Kalipasir Indah, Kota Tangerang. (UMN/Eljo)

Bangunannya tidak mewah, malah terkesan sederhana. Apalagi ditambah dengan pemakaman yang menghiasi halaman depannya, membuat masjid ini tidak begitu mencolok. Di dindingnya, tercetak tulisan Masjid Jami’ Kalipasir beserta aksara Arab-nya.  Jika bukan warga asli Tangerang, Anda tidak akan menyangka masjid yang terletak di Jalan Kalipasir Indah, Kota Tangerang ini adalah masjid pertama dan tertua di Tangerang. 

Yang membuat masjid ini unik bukan semata-mata karena usianya yang sudah mencapai empat abad lebih, namun karena letaknya yang berada di tengah-tengah pemukiman warga Tionghoa. Buktinya, beberapa meter dari masjid ini, berdiri pula salah satu kelenteng tertua di Tangerang, Kelenteng Boen Tek Bio. 

Meskipun merupakan dua tempat ibadah yang berbeda dan berdekatan, Saeroji, dewan penasihat masjid, bersyukur bahwa sampai saat ini tidak ada perselisihan yang terjadi antara Masjid Jami’ Kalipasir dengan Kelenteng Boen Tek Bio. 

“Dari awal sampai saat ini, alhamdulillah tidak ada bentrok fisik, tidak ada juga bentrok batin, ” ujar Saeroji. 

Saeroji (tengah, mengenakan peci) menjelaskan toleransi yang ada di Masjid Jami' Kalipasir kepada tim liputan pada Senin (6/11). (UMN/Raisya)

Dengan lembut, Saeroji yang sudah sejak dulu menjadi pengurus Masjid Jami’ Kalipasir, menekankan makna toleransi yang dijalin oleh kedua tempat ibadah ini. Ia mengklarifikasi tidak benar jika ada media yang mengatakan Masjid Jami’ Kalipasir dan Kelenteng Boen Tek Bio sampai mengadakan musyawarah jika menjelang perayaan hari besar masing-masing. 

“Ada toleransi seperti di Jawa, itu toleransinya sampai mereka membantu, datang ke [acara] keagamaannya, di sini nggak,” tutur Saeroji.

Ia mengatakan toleransi yang dijalankan di kedua tempat ibadah ini hanya sebatas sampai tidak saling mengganggu. Apabila di kelenteng ada perayaan, pengurus masjid hanya mempersilakannya. Begitu pula sebaliknya. 

Lebih jauh, Saeroji mengatakan bahwa dikenal dua jenis toleransi. Yang pertama adalah toleransi sosial-pribadi dan yang kedua adalah toleransi sosial-keagamaan. Ia menyampaikan bahwa toleransi sosial-pribadi lebih merujuk pada muamalah atau hubungan bermasyarakat.

“Saya Muslim. Adik-adik semua [tim liputan] non-Muslim. Apa saya harus menjaga jarak ketika ada pergaulan? Kan tidak,” Saeroji menjelaskan tentang toleransi sosial-pribadi. 

Untuk menjelaskan toleransi sosial-keagamaan, Saeroji mengutip ayat dalam Alquran yang berbunyi “Lakum dinukum waliyadin” yang berarti “Untukmu agamamu, untukku agamaku”.

Bagian dalam Masjid Jami' Kalipasir. (UMN/Eljo)

Dengan berpegang teguh pada dua prinsip toleransi ini, Saeroji yakin akan selalu tercipta suasana harmonis walaupun berbeda keyakinan, meski wujudnya tidak sampai saling menghadiri perayaan hari besar keagamaan.

Masjid Jami’ Kalipasir memang tidak semegah masjid-masjid lain, tetapi pekikan toleransinya jangan dianggap remeh. Dari masjid ini tercermin hubungan antarbudaya yang manis dan tidak egois. 

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu