Agama Bukan Berdasarkan Warna Kulit

"Mereka tidak percaya aku beragama Buddha, hanya karena warna kulitku tidak seputih mereka," - YA


Beberapa tahun silam menjadi tahun yang berat bagi YA (nama inisial). Pada saat itu, YA masih duduk di bangku sekolah dasar. Pertanyaan yang paling ditakutinya adalah, "Apa agamamu?"

Bukan. Bukan karena YA tidak beragama. Melainkan apabila YA menyebutkan agamanya, teman-teman sekelasnya tidak akan memercayainya, dan malah beberapa mencemoohnya.

YA adalah seorang keturunan Jawa yang beragama Buddha, yang bersekolah di lingkungan mayoritas Tionghoa. Maklum, namanya juga anak-anak, tentu pemahaman mereka soal agama masih minim. Saat itu teman-teman sekelasnya beranggapan bahwa yang beragama Buddha hanya yang keturunan Tionghoa saja.

Pernah suatu ketika, saat masuk tahun ajaran baru, wali kelas YA mendata biodata siswa di kelas. 

"Siapa yang beragama Islam?" tanya Bu Guru. Beberapa teman sekelasnya angkat tangan walau tak banyak.

"Siapa yang beragama Katolik?" lanjut Bu Guru. "Siapa yang beragama Kristen Protestan?"
Teman-teman sekelasnya mengangkat tangan dengan bangga.

Tibalah saat yang paling menakutkan bagi YA. "Siapa yang beragama Buddha?" tanya Bu Guru.

Ketika itu YA mengangkat tangan. Dan seluruh pandangan teman-teman sekelasnya langsung menatapnya dengan pandangan aneh campur tidak percaya.

"Serius kau?" ujar teman sebangkunya lirih.

"Apa buktinya kau beragama Buddha?" sahut temannya yang lain.

Momen itu menjadi momen yang paling menakutkan bagi YA. YA kecil saat itu merasa seperti dihardik dan diinterogasi. 

"Sejak saat itu, aku nggak pernah angkat tangan lagi kalau ditanya siapa yang agama Buddha. Aku lebih memilih maju ke depan kelas dan berbisik ke Bu Guru," ujarnya. 

YA mengaku ia merasa sedikit geram saat itu. "Mereka tidak percaya aku beragama Buddha, hanya karena warna kulitku tidak seputih mereka," lanjutnya.

Perlahan namun pasti, ketakutannya itu sirna sejak YA duduk di bangku SMP. Pasalnya, di bangku SMP, pelajaran agama tidak disamaratakan lagi sebagaimana di SD yang seluruh siswanya hanya mendapatkan pelajaran agama Katolik. Di SMP baru YA, siswa mendapatkan pelajaran agama sesuai agama mereka masing-masing.

Guru agama Buddha YA di SMP juga seorang keturunan Jawa. Saat itu, teman-teman keturunan Tionghoa-nya yang baru pertama kali melihat guru agama Buddha sempat tidak percaya. Namun seiring berjalannya waktu, persepsi mereka bahwa yang beragama Buddha hanya orang Tionghoa pun lenyap.
Sekarang, teman-teman YA sudah lebih terbuka dan tidak mencemooh YA lagi. Dan sikap seperti inilah yang harus ditanamkan orang tua pada anak-anak mereka sejak dini. Bahwa agama bukan berdasarkan warna kulit. 

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu