Hari Pertama Puasa, Maag Seolah Sirna

Ajaib! Saya yang memiliki penyakit maag, bisa tahan tidak makan dan tidak minum selama lebih dari tiga belas jam.

Saya di Masjid Ramlie Musofa, yang terletak di tepi Danau Sunter, Tanjuk Priok, Jakarta Utara.


Ramadan tiba… Ramadan tiba… Umat Islam tentu sangat bergembira karena bisa memupuk pahala di bulan penuh berkah. Selama sebulan, umat Islam akan menahan nafsu untuk tidak makan dan tidak minum mulai dari Imsak hingga berbuka puasa di saat azan Magrib. Sehingga bulan Ramadan juga sering disebut bulan puasa.

Dua hari sebelum hari pertama bulan Ramadan adalah hari uposatha dalam penanggalan Buddhis. Pada hari tersebut, umat Buddha dianjurkan berpuasa pula (baca puasa dalam agama Buddha di sini). Saya yang sudah berpuasa pada hari uposatha tersebut pada akhirnya penasaran bagaimana rasanya berpuasa pula pada bulan Ramadan. Akhirnya pada Jumat malam, saya memutuskan untuk berpuasa pada hari pertama Ramadan, yang jatuh keesokan harinya.

Saya langsung membeli menu sahur di gerai Mekdi yang tidak jauh dari indekos saya. Saya membeli paket nasi lengkap dengan dua potong ayam goreng yang aromanya sangat menggoda. Namun setelah bertanya dengan seorang dosen saya, yang akrab disapa Sir Qowi, ternyata mengonsumsi menu gorengan tidak dianjurkan saat sahur. 

“Jangan lupa sahur, jangan makan goreng-gorengan, dan minum yang banyak,” begitu pesan Sir Qowi pada saya.

Tapi berhubung saya sudah terlanjur membeli, ya mau tidak mau akan saya santap di waktu sahur nanti. Sir Qowi menganjurkan saya untuk mengimbangi menu gorengan yang saya konsumsi dengan minum air putih yang banyak.

Suasana sahur di indekos sangat berbeda dengan suasana sahur di rumah saya di Pekanbaru. Biasanya menjelang waktu sahur, suara toa masjid di belakang rumah saya akan berbunyi menandakan waktu sahur. Namun di indekos saya tinggal, tidak terdengar bunyi masjid sama sekali. Untung saya bisa terbangun setelah menyetel alarm.


Slurrpp… dalam sekejap dua ayam goreng dan nasi yang sudah dingin ludes saya santap. Mengingat pesan Sir Qowi, saya langsung meneguk air putih yang banyak. Beh, hampir kembung perut ini rasanya. Sesekali saya melirik jam. Oh ternyata sudah pukul 04.20 rupanya. Saya memberhentikan aktivitas makan dan minum saya, berhubung sudah hampir memasuki waktu Imsak. Kemudian saya lanjut membaca buku biografi Nabi Muhammad yang baru saya beli beberapa waktu yang lalu sebelum akhirnya saya kembali tidur. 

Pagi harinya, semua berlangsung seperti biasa. Saya ke kampus dan mengikuti perkuliahan, saya presentasi di depan kelas, saya membaca buku Di Bawah Lindungan Ka’bah yang dipinjamkan Sir Qowi. Semua berjalan normal dan lancar. Sampai-sampai saya sendiri kaget, mengapa maag saya tidak kambuh? 

Seharusnya bila lewat dari enam jam saja saya tidak mengisi perut saya, maag saya pasti sudah memberontak. Tapi kali ini tidak! Mengesankan! Maag saya seolah sirna.

Memasuki pukul tiga sore, rasa haus dan kering di tenggorokan mulai terasa. Tahan… tahan… dua jam-an lagi kok ujar saya dalam hati.

Teman-teman saya yang mengetahui saya ikut berpuasa, tidak sedikit yang memberikan respon yang positif. “Bagus, Wira!”, “Mantap, Wir!”, “Alhamdulillah, Wir, kalau bisa coba sebulan full”. 

Pada pukul lima, beberapa menit menuju buka puasa, teman-teman saya mengajak saya berbuka puasa di mal yang menjadi tempat tongkrongan kedua anak-anak UMN setelah SDC, yakni Summarecon Mall Serpong. 

Kami membeli makan di foodcourt dan ketika waktu berbuka tiba, kami langsung menyantap makanan kami dengan ganas! (ah, lebay) Yeay, saya berhasil menjalankan puasa pertama dengan sempurna!

Setelah berpuasa dalam tradisi Buddhis dan tradisi Islam, saya merasakan hal yang unik di kedua tradisi ini. Di puasa Buddhis, walaupun diperbolehkan minum, tetapi waktunya lebih panjang daripada puasa dalam Islam, yakni dimulai tengah hari (biasanya dihitung dari pukul 12 siang) hingga dini hari (biasanya dihitung dari pukul empat), alias enam belas jam.

Puasa di tradisi Islam pun lebih umum dan boleh dikatakan lebih seru karena ada sesi buka puasa bareng teman-teman ataupun keluarga. Hanya saja, yang menjadi tantangan terberat saya dalam puasa di tradisi Islam adalah tidak diperbolehkan untuk minum. Tapi saya boleh berbangga karena saya berhasil melaluinya. Horeee…

Untuk kamu yang nonmuslim, boleh deh sekali-sekali nyobain puasa di bulan Ramadan. Atau bagi kamu yang non-Buddhis, boleh juga sekali-sekali mencoba puasa di hari uposatha. Anggap saja puasa adalah sebuah momen untuk melatih nafsumu, terlepas dari agama apapun kamu. 


Selamat berpuasa bagi teman-teman yang menjalankan! Semoga berkah Ramadan senantiasa menyertai Anda!

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu