Mimpi Bukanlah Lagi Mimpi

Mulut kami komat-kamit seperti merapal mantra.  Ada yang sambil menancapkan earphones di kedua telinganya, ada pula yang sembari menyeruput kopi panas dari genggaman tangannya. Saya lebih memilih menyendiri di pojokan -- bukan karena saya sedang galau karena jomlo -- agar lebih fokus mengulas ulang materi yang akan saya tampilkan di hadapan dewan juri.



Sebuah kertas berbentuk lingkaran, dengan nomor enam tercetak di atasnya, menggantung di kemeja batik yang saya kenakan. Peserta lain juga demikian, namun dengan urutan nomor yang berbeda-beda. Kami semua yang berada di ruang tunggu ini adalah peserta lomba dhammadesana (khotbah), baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Mandarin, dalam penyelenggaraan Swayamvara Tripitaka Gatha (STG) Ke-X Tingkat Provinsi Banten. 


Provinsi Banten adalah provinsi pertama yang menggelar seleksi STG Ke-X pada Minggu, 10 Sepetember 2017. Ada beragam kategori yang dilombakan, yakni lomba membaca Dhammapada, membaca paritta, membaca sutra Mandarin (liam keng), membaca sutra-mantra (Sanskerta), dhammadesana bahasa Indonesia, dhammadesana bahasa Inggris, dhammadesana bahasa Mandarin, paduan suara, nyanyi solo, kaligrafi, hingga tari kreasi Buddhis.

Saya pribadi paling terpikat dengan lomba dhammadesana bahasa Inggris. Itu sebabnya begitu melihat pengumumannya, saya langsung bergairah dan tanpa berpikir panjang segera mendaftarkan diri. Pasalnya, mengikuti ajang tiga-tahun-sekali ini sudah menjadi mimpi saya dulu sejak duduk di bangku SMA. Hanya saja waktu itu usia saya belum mencukupi.

Dalam seleksi STG Provinsi Banten ini, tiap peraih juara satu dari tiap kategori lomba nantinya akan mewakili Banten menuju penyelenggaraan STG tingkat nasional di Magelang. Saat mendaftar diri, tidak ada target lain yang saya harapkan selain merasakan pengalaman ikut dalam ajang bergengsi Buddhis ini. Apalagi menyadari pesertanya tidak hanya kaum pemuda saja, tetapi juga diikuti oleh peserta yang senior dan sepuh. Syukur-syukur bisa meraih juara tiga besar. Saya sudah sangat senang dan bersyukur.

Di saat pengumuman pemenang, saya sempat berkecil hati. Apalagi mengingat saya adalah peserta terjunior bila dibandingkan dengan peserta lainnya yang sudah lebih banyak makan garam. Hingga mendengar nomor urut enam kategori lomba dhammadesana bahasa Inggris disebutkan sebagai juara pertama, saya langsung terperanjat. Suasana ruangan sempat hening seketika, menunggu siapa peserta yang akan maju ke podium. Saya dengan setengah percaya, melirik lagi nomor urut yang menggantung di kemeja saya. Ternyata saya! Whoa!


Lalu dengan rasa sedikit tidak percaya, saya bangkit dan berjalan ke atas podium. Peserta lain bertepuk tangan mengiringi langkah saya. Tiba di depan, pembawa acara langsung berkata, "selamat untuk pemenang pertama, kamu akan mewakili Banten di tingkat nasional!"

Oh, sungguh sebuah perasaan yang tidak bisa saya deskripsikan lewat kata-kata. Antara senang, bangga, tidak percaya, haru, berdebar, semua bercampur menjadi satu. Ternyata usaha saya selama satu bulan ini tidak sia-sia, termasuk tidur larut malam demi menyelesaikan naskah khotbah. Terima kasih mama, papa, dan siapa pun yang sudah mendoakan dan mendukung saya.




Mengikuti Swayamvara Tripitaka Gatha adalah mimpi saya sejak dulu. Tapi meraih juara satu dan mewakili Banten ke tingkat nasional tidak pernah terbersit dalam mimpi. Namun saya harus menyadari, ini bukanlah lagi sekadar mimpi. Mimpi ini sudah menjelma menjadi sebuah target dan tantangan baru bagi saya. Saya harus berusaha semaksimal mungkin dalam STG tingkat nasional di Magelang pada 1-5 November 2017 nanti. Doa, dukungan, dan semangat dari keluarga dan teman-teman sangat berarti bagi saya; mengiring saya untuk berusaha lebih baik lagi.

Go, fight!




Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu