Agama Buddha dan Komunikasi Nonverbal

Setiap kali datang ke wihara atau acara keagamaan Buddhis, jarang sekali saya mengucapkan salam kepada umat yang lain bila berpapasan. Berbeda dengan teman-teman saya yang mengaku selalu mengucapkan "shalom" tiap ke gereja atau "assalamualaikum" tiap bertemu sesama muslim. Alih-alih, saya hanya merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada, dengan sedikit tersenyum. Lalu, orang yang berpapasan dengan saya juga membalas dengan melakukan hal serupa. Kalau dipikir-pikir aneh juga, ya? Tanpa berkata-kata, kok kami saling memahami pesan?



Walau tanpa berbicara dan mengeluarkan kata-kata, apa yang saya lakukan ini (hampir setiap kali datang ke wihara atau acara keagamaan Buddhis), bisa disebut komunikasi. Sebagaimana yang dikatakan Joseph A. DeVito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book, ketika melakukan gestur, tersenyum, melebarkan mata, memindahkan jarak kursi menjadi lebih dekat, mengenakan perhiasan, menyentuh seseorang, menaikkan volume suara, bahkan saat tidak berkata-kata pun, kita disebut sedang melakukan komunikasi, atau khususnya disebut komunikasi nonverbal.

Saat merangkapkan kedua telapak tangan dan tersenyum, saya bermaksud untuk menyapa. Di dalam lingkup Buddhis, adalah hal yang sangat lazim untuk menyapa seseorang dengan merangkapkan kedua telapak tangan, apalagi dilengkapi dengan ujaran "sukkhi hotu" yang berarti "semoga Anda berbahagia" atau "Namo Buddhaya!" yang bermakna "marilah memuji Buddha!"

Namun apa yang saya alami, yakni hanya merangkapkan telapak tangan tanpa mengucapkan kata-kata pun, orang-orang dalam lingkup agama Buddha tetap mengerti pesan yang saya sampaikan. Ini menunjukkan bahwa pesan nonverbal bisa menggantikan pesan yang disampaikan melalui kata-kata (pesan verbal).

Saluran-saluran dalam komunikasi nonverbal ada beragam. DeVito merangkumnya menjadi 9 saluran komunikasi nonverbal, yakni (1) gestur tubuh, (2) penampilan tubuh, (3) mimik wajah, (4) kontak mata, (5) sentuhan, (6) parabahasa dan diam, (7) jarak, (8) artifaktual, dan (9) waktu.

Dari rangkuman DeVito, kita dapat menyimpulkan bahwa apa yang saya alami menunjukkan penyampaian  pesan melalui saluran gestur tubuh. Hanya saja yang harus dipahami, makna gestur tubuh bisa berbeda-beda dari budaya yang satu dengan budaya yang lain.

DeVito memberikan contoh yang sangat menarik dalam bukunya. Misalnya saja ketika kita mengacungkan jempol, makna yang disampaikan bisa beragam, bergantung pada budaya masing-masing. Di Jerman, jempol yang mengacung menyimbolkan angka satu. Di Jepang, jempol yang teracung justru menyimbolkan angka lima. Dengan gestur jari yang sama, di Malaysia justru digunakan untuk menunjuk sesuatu.

Pesan menyapa yang saya lakukan dengan hanya merangkapkan telapak tangan di depan dada mungkin hanya bisa dimengerti oleh orang-orang dalam lingkup agama Buddha. Dalam kebudayaan lain, gerakan merangkapkan telapak tangan di depan dada bisa bermakna permohonan maaf. Atau di hotel-hotel di Indonesia, gestur serupa digunakan untuk untuk mengiringi ucapan "selamat datang" kepada tamu hotel.

Di sini, prinsip komunikasi berperan penting. Dalam berkomunikasi, kita harus memahami bahwa komunikasi bersifat kontekstual. Apa yang kita komunikasikan harus memerhatikan konteks situasi, tempat, dan waktu. Ini sejalan dengan apa yang Littlejohn nyatakan, "Communication always occurs in a context, and the nature of communication depends in large measure on this context."

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika saya merangkapkan kedua telapak tangan di depan orang yang bukan berlatar belakang Buddhis. Mereka pasti tidak akan menanggapi saya sebagaimana orang di wihara merespons saya. Mungkin mereka akan berpikir saya aneh karena tiba-tiba menunjukkan gerakan meminta maaf, alih-alih berpikir bahwa saya menyapanya.

Apakah agamamu juga memiliki komunikasi nonverbal?


Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu