Susahkah Mewujudkan Toleransi?

Saya ingat jelas Lebaran dua tahun lalu. Saya dan dua orang teman saya mengunjungi rumah guru kami, Ibu Sri Raudah Bahsyar yang merayakan Lebaran. Kami lebih akrab menyapanya dengan Bu Ade. Ketika tiba di rumahnya, kami langsung disambut dengan ramah olehnya.

"Selamat Hari Lebaran, Bu!" ujar kami lantan berbarengan. Kemudian kami menyalaminya.

"Iya, terima kasih, anak-anak Ibu. Yuk, masuk," ucapnya dengan senyum.

Anggota keluarga Bu Ade yang lain sedang berkumpul dan bercengkrama ketika kami masuk ke dalam rumahnya. Melihat kedatangan kami bertiga, mereka semua sangat antusias. Kami menyalami keluarga Bu Ade satu per satu sambil mengucapkan selamat hari Lebaran.

Walaupun saya dan kedua teman saya tidak merayakan Lebaran, tapi kami bertiga hanyut dalam sukacita hari Lebaran. Saya beragama Buddha. Teman saya yang satu beragama Katolik. Dan yang satu lagi beragama Kristen. Kurang indah apalagi wujud toleransi ini?

Terkadang sebuah pertanyaan terlintas di benak saya: apakah toleransi masih susah diwujudkan? Saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang enggan bahkan tidak sudi mewujudkan toleransi. Orang-orang seperti ini gemar memperlebar sekat perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Yang lebih miris, tidak sedikit yang menebar kebencian atau bahkan melakukan tindakan ekstrem seperti perusakan rumah ibadah.

Berbagai konflik hingga aksi kekerasan tidak hanya sekali terjadi. Oknum-oknum yang melakukannya seolah bersembunyi di balik nama agama dan merasa tidak bersalah. Padahal tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kebencian. Saya percaya setiap agama mengajarkan cinta kasih dan kedamaian.

Sebenarnya, toleransi tidak harus melulu diwujudkan dengan bersilahturami ke rumah kerabat yang merayakan hari rayanya. Dengan memberikan waktu untuk beribadah saat sedang kumpul atau sedang mengerjakan tugas kelompok, kita sudah dikategorikan mewujudkan toleransi. Bahkan hanya dengan tidak mengusik orang lain saat beribadah saja sudah merupakan tindakan yang patut dikembangkan.

Sebenarnya mewujudkan toleransi adalah hal yang sederhana, bukan? Hanya saja hal yang sederhana ini, tidak tahu mengapa, sukar dipahami oknum-oknum yang intoleran.

Saya pribadi mewujudkan toleransi dengan berbagai cara. Tapi yang paling saya sukai adalah  bersilaturahmi ke rumah kerabat yang merayakan hari raya dan memberikan ucapan selamat hari raya secara langsung. Selain bisa mempererat tali silahturami, saya juga bisa mencicipi masakan khas di hari rayanya hehehe...

"Wir, tambah lagi sana. Lontongnya masih banyak, lho," ujar Bu Ade pada saya ketika melihat lontong di piring saya sudah habis dilahap.

Jadi, masih susahkah mewujudkan toleransi?

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu