Menjadi Musisi Jalanan Satu Malam

Pernahkah terpikir oleh kalian untuk menjadi pengamen musisi jalanan? Jujur, saya tidak pernah. Tapi hari Sabtu, 18 Februari 2017 lalu, saya dan teman-teman saya malah menjadi musisi jalanan satu malam.

Kegiatan menjadi musisi jalanan satu malam ini bertujuan untuk menggalang dana demi kelancaran acara tahunan yang akan kami selenggarakan lebih kurang satu bulan mendatang. Kami yang dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari sepuluh orang, harus mengelilingi sebuah komplek yang terdiri dari beraneka rumah makan untuk menyanyikan lagu dan meminta kedermawanan pengunjung.

"Siapa yang mau ngambilin uang yang mereka (pengunjung rumah makan) kasih?" ujar salah seorang senior.

Karena tidak ada yang bersuara, saya akhirnya berinisiatif mengacungkan jari. Dan ketika wadah itu diberikan kepada saya, saya langsung berpikir ulang. Artinya, saya harus mendatangi satu meja ke meja lainnya untuk meminta kedermawanan pengunjung. Saya pun menelan ludah. Apakah saya siap?

Ingatan-ingatan saya yang sempat tidak memberikan kedermawanan kepada beberapa pengamen musisi jalanan satu per satu mulai terputar di benak saya. Akankah saya diperlakukan serupa?

Kami mulai berjalan dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya. Tidak sedikit pemilik rumah makan yang ramah dan mengizinkan kami ngamen menjadi musisi jalan di rumah makannya. Tapi tidak sedikit pula pemilik rumah makan yang tidak mengizinkan dan bahkan memampang tulisan "NGAMEN GRATIS" yang baru saya ketahui berarti "dilarang ngamen" versi halus.

Tidak semua personil diperbolehkan masuk ke dalam rumah makan. Hanya perwakilan empat orang saja yang boleh masuk dengan alasan agar tidak mengganggu gerak pramusaji.  Saya termasuk keempat orang yang masuk ke dalam rumah makan karena sayalah yang memegang wadah donasi. Kami menyanyikan lagu dengan percaya diri walaupun suara kami tidak sebagus Judika ataupun Regina Idol. Di tengah-tengah lagu, saya pun menjalankan tugas saya untuk meminta donasi dari para pengunjung.

Pertama-tama rasanya sedikit aneh harus meminta-minta di hadapan pengunjung yang sedang makan.  Tetapi saya berpikir, mengapa harus aneh? Bukankah yang saya lakukan ini bukanlah hal yang memalukan? Kami bukan mengemis, melainkan bernyanyi dan meminta kedermawanan dari pengunjung. Lagi pula, kami sudah mendapatkan izin dari pemilik rumah makan. Lantas, apa yang perlu dipermasalahkan? Kemudian saya mencoba lebih rileks lagi. Tidak lupa saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas kedermawanan pengujung.

Mayoritas pengunjung memberikan donasi lima ribu sampai dua puluh ribu rupiah. Beberapa pengunjung juga menitip pesan "semoga acaranya sukses ya". Kami pun merasa sangat senang dengan respon pengunjung. Namun beberapa pengunjung ada juga yang hanya bersikap acuh tak acuh dengan kedatangan kami. Apa boleh buat, itu adalah hak mereka.

Aksi ini seolah menyentil hati kecil saya untuk lebih dermawan lagi. Dan sejak malam itu juga, saya bertekad dalam diri saya. Sebisa mungkin saya akan memberikan uang kepada musisi jalanan ketika mereka menunjukkan aksinya, karena saya sadar yang mereka lakukan tidaklah mudah. Saya sendiri yang merasakannya melalui pengalaman menjadi musisi jalanan satu malam ini.


Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu