Menjadi profesional, bukan budak korporat
Setiap mendengar ada karyawan swasta melabeli diri sebagai "budak korporat," saya merasa ada sesuatu yang keliru. Kata "budak" memiliki konotasi negatif yang mengacu pada seseorang yang kehilangan kebebasan, hak, dan martabatnya. Budak semata-mata menjadi hamba suruhan tanpa penghargaan.
Memilih ungkapan "budak korporat" ini untuk mendeskripsikan diri hanya merendahkan posisi individu yang bekerja berdasarkan kompetensi, dibayar secara profesional, dan diakui kontribusinya dalam mendukung tujuan perusahaan.
Menggunakan istilah "budak korporat" seolah-olah merendahkan posisi karyawan dalam sebuah ekosistem kerja yang sebenarnya bersifat mutualisme. Perusahaan membutuhkan tenaga profesional, keterampilan, dan ide-ide segar dari karyawan, sementara karyawan mendapatkan kompensasi, pengembangan karier, dan kesempatan untuk menambah pengalaman.
Ketika seseorang memandang dirinya sebagai "budak", itu menunjukkan persepsi diri yang rendah—seolah-olah mereka hanya alat tanpa kemampuan untuk membuat pencapaian. Padahal, bagaimana seseorang memandang dirinya sangat memengaruhi semangat kerja dan peluang untuk bertumbuh di lingkup profesional.
Menganggap diri sebagai budak hanya akan menurunkan rasa percaya diri dan memunculkan persepsi negatif terhadap pekerjaan yang dijalani. Saya lebih suka dengan istilah "seorang profesional". Menghargai diri sebagai "seorang profesional" memungkinkan kita untuk terus tumbuh, memperbaiki kualitas diri, dan bahkan menuntut lingkungan kerja yang lebih baik.
Bagi saya, istilah "budak korporat" bukan hanya keliru, tetapi juga merugikan citra karyawan itu sendiri. Profesionalitas seorang karyawan didasarkan pada kemampuan, kontribusi, dan penghargaan terhadap nilai yang mereka bawa ke meja kerja. Menghargai diri sebagai seorang profesional adalah langkah pertama untuk membangun karier yang bermakna.
Comments
Post a Comment