Saya Beruntung Hidup di Lingkungan yang Multikultur

Saya merasa beruntung. Lingkungan tempat saya tinggal, bersekolah, dan berinteraksi adalah lingkungan yang multikultur. Tepat di belakang rumah saya, ada sebuah masjid. Berjalan beberapa langkah keluar dari kompleks perumahan saya, berdiri sebuah kelenteng.

Sudah menjadi hal yang lumrah mendengar pembacaan ayat-ayat Alquran beberapa saat sebelum memasuki waktu salat. Tiap ramadan, selalu terdengar tausiah sebelum magrib. Demikian pula ketika menjelang Imlek dan hari-hari besar perayaan Khonghucu, kelenteng di depan kompleks perumahan saya selalu dipadati dengan mobil dan orang-orang yang ingin bersembahyang.

Di sekolah juga demikian. Meski saya bersekolah di sekolah Katolik, namun murid-muridnya mayoritas bukan Katolik. Ibaratnya Indonesia mini, Anda bisa menemukan murid dengan beragam latar belakang suku dan agama. Sebut saja, mulai dari yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, hingga Khonghucu berinteraksi dan belajar bersama di sekolah. Atau murid yang bersuku Batak, Jawa, Sunda, Minang, Melayu, Flores, Tionghoa, bahkan India, semua adalah teman-teman saya.

Uniknya, meski sekolah Katolik, tidak jarang setiap ada acara-acara di sekolah, doa selalu dipimpin menurut cara enam agama. Tiap perayaan Idulfitri, Imlek, Waisak, dan Nyepi, sudah menjadi sebuah tradisi di sekolah kami untuk saling memberi ucapan. Oh indahnya...

Kami bersilaturahi ke rumah guru kami (tengah)  saat Lebaran.
Peter dan Dicky (kiri) beragama Kristen. Saya beragama Buddha. Andreas (kanan) beragama Katolik. 


Bahkan saya masih ingat ketika sekolah saya mengadakan perayaan Waisak bagi yang beragama Buddha, hingga mengundang seorang bhikkhu ke sekolah. Di saat bulan ramadan, kami tidak makan di depan teman kami yang puasa. Di saat Natal, Imlek, dan Lebaran, kami mengunjungi rumah teman atau guru kami yang merayakan. (Lumayan, selain mempererat silaturahmi, bisa makan gratis hahaha)

Masuk kuliah, apalagi. Saya berkuliah di sebuah kampus swasta di Tangerang. Di kampus saya, perbedaan yang saya jumpai lebih beragam. Tetapi saya sudah tidak kaget karena memang dari kecil sudah berada di lingkungan yang majemuk.

Lingkungan yang multikultur membuat saya menganggap perbedaan adalah hal yang wajar dan lumrah. Bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda suku dan agama dengan saya memberi saya cara pandang baru dalam melihat dunia. Ini membentuk saya menjadi pribadi yang inklusif dan terbuka dengan kemajemukan. Perbedaan saya pandang sebagai hal yang indah.

Saya merasa beruntung namun saya jadi penasaran. Apakah sikap terbuka dengan perbedaan juga dimiliki oleh mereka yang tinggal dan berinteraksi di lingkungan yang homogen? Apakah sikap ini juga tumbuh pada seseorang beragama A, tinggal di lingkungan yang semuanya beragama A, bersekolah di semua yang beragama A, dan berteman dengan sesama penganut agama A?

Rasa penasaran ini muncul ketika mendengar cerita teman saya yang berkuliah di Medan. Meski tidak secara frontal saling berkonflik, namun teman saya mengaku ada perselisihan yang kadang memantik. Misalnya, ketika teman saya sedang menggalang dana berjualan makanan untuk perayaan Natal mahasiswa di jurusannya, tidak jarang ia mendengar provokasi untuk tidak membeli makanan karena akan turut menyukseskan penyelenggaraan ibadah.

Ia juga menyebut, di dalam kelas pun etnis A akan bergaul dengan etnis A. Etnis B hanya akan bergaul dengan etnis B. Demikian pula etnis lainnya. Kalaupun ada etnis A berinteraksi dengan etnis B, itu pun hanya demi keperluan perkuliahan.

Sedih rasanya mendengar ceritanya. Sampai sebegitunyakah sikap mereka terhadap perbedaan? Tetapi saya percaya, apa yang diceritakan teman saya tidak mewakili keseluruhan sikap masyarakat Indonesia terhadap perbedaan. Buktinya, masih banyak kisah-kisah manis toleransi yang berseliweran di luar sana. Kisah manis Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta, misalnya.

Memiliki sikap yang terbuka dengan perbedaan tidak mutlak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Bahkan menurut survei Setara Institute (https://bit.ly/2rYMz87), kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, dan Medan, justru tergolong 10 kota dengan nilai toleransi yang paling rendah. Yang di kota bukan berarti lebih terbuka daripada yang di daerah.

Saya yakin sikap terbuka, toleran, dan influsif terbentuk tidak semata-mata oleh tempat tinggal, tapi juga oleh kemauan seseorang untuk mau berinteraksi dan tidak berprasangka buruk dengan orang yang berbeda darinya.

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu