Crazy Rich Asians: Bukan Sekadar Kisah Cinta




Saat Rachel Chu mengatakan bahwa ia dan pacarnya—Nick Young—sama-sama orang Tionghoa, Kerry Chu, ibunda Rachel, langsung membantah. Kerry menyebut Rachel dengan “yellow on the outside, white on the inside.” Walaupun secara fisik Rachel adalah orang Tionghoa, tapi ia dibesarkan dengan budaya Amerika. Tentu caranya memandang dunia berbeda dengan mayoritas orang Tionghoa yang dibesarkan dengan budaya Asia. 

Meski teman saya tidak menyukai film ini karena ceritanya hanya berkutat pada kisah cinta, tapi bagi saya film ini menyampaikan konflik yang lebih jauh daripada sekadar kisah cinta. Film ini berani mengeksplorasi konflik budaya antara Tionghoa-Asia dengan Tionghoa-Amerika atau yang sering dijuluki ABC (American Born Chinese). 

Rachel yang secara genetik tampangnya sangat Tionghoa, berprofesi sebagai profesor ekonomi, dan bisa berbahasa Mandarin, bahkan disebut oleh Eleonor Young, ibu Nick, bukan bagian dari ga gee lang (kaum sendiri). Apa yang disebut Eleonor Young terbilang wajar apabila dipahami menurut kajian komunikasi antarbudaya. Sejatinya, budaya memang bukanlah sesuatu yang diwariskan secara genetik. Menurut Samovar, Porter, dan McDaniel, “culture is learned (budaya itu dipelajari)”.  

Jadi, menurut pola pikir Eleonor, Rachel tidak bisa betul-betul disebut Tionghoa hanya semata-mata karena fisiknya menunjukkan karakteristik fisik orang Tionghoa pada umumnya. Meski secara fisik Tionghoa, Rachel tidak meresapi budaya Tionghoa. Seseorang disebut bagian dari sebuah kelompok budaya karena mempelajari budayanya dan, menurut Klyukanov, karena mereka berbagi makna simbolik yang sama.

Proses mempelajari budaya sehingga meresapi dan mempraktikkannya bisa juga disebut dengan proses enkulturasi. Samovar, dkk. sampai menyebut proses enkulturasi ini spesial karena proses ini memungkinkan bayi normal dan sehat mana pun yang ditempatkan dalam keluarga mana pun di muka bumi dan mempelajari budaya mereka akan menerima budaya tersebut sebagai budayanya sendiri. Hal ini bisa terjadi selama pola tingkah laku dan cara pikir suatu budaya menjadi kebiasaan dan “merasuk” ke dalam diri seseorang. 

Tidak heran jika Rachel, yang yellow on the outside alias berfisik Tionghoa, memiliki pola pikir Amerika sebab dari kecil, ia dibesarkan di Amerika, berinteraksi dengan budaya Amerika, dan secara sadar maupun tidak sadar belajar serta meresap budaya Amerika. Saat berjumpa Rachel pertama kali, Eleonor bahkan langsung menyeletup “how American” ketika Rachel mengatakan ibunya mendukung penuh dirinya untuk “to chase my dream”.  

Perbedaan budaya yang tajam antara budaya yang dianut Rachel dan budaya yang dianut keluarganya di Singapura inilah yang membuat Elenor tidak menyetujui hubungan anaknya dengan Rachel. 

Berikut saya akan kupas film ini dengan kaca mata ilmu komunikasi.

Kolektivis vs Individualis

Dalam kajian komunikasi antarbudaya, ada dua istilah yang familier, yang masing-masing merujuk pada budaya yang dianut Rachel dan budaya yang dianut keluarga Nick, yakni kolektivis dan individualis. Andersen dalam Communication Between Cultures menjelaskan bahwa budaya kolektivis menekankan pada komunitas, kolaborasi, kepentingan bersama, harmoni, tradisi, kebaikan bersama, dan mempertahankan "wajah", sedangkan budaya individualis menekankan pada hak dan tanggung jawab pribadi, privasi, menyuarakan opini pribadi, kebebasan, inovasi, dan ekspresi-diri.   

Dari definisi Andersen di atas, jelas bahwa Rachel yang dibesarkan di Amerika Serikat, menganut budaya individualis, sementara Eleonor dan keluarga Nick di Singapura menganut budaya kolektivis. Menurut hasil penelitian Hofstede, Amerika Serikat memang menduduki peringkat teratas sebagai negara yang menganut budaya individualis. Peringkat Amerika Serikat tentu terpaut jauh dengan posisi Singapura yang menduduki peringkat berkisar 39-41 dari 53 negara yang diteliti. 

Budaya individualis yang dianut Rachel bisa dibuktikan saat sedang membuat pangsit di rumah Ah Ma. Rachel mengaku tidak pernah berkumpul dengan keluarga besar seperti yang sedang mereka lakukan di meja makan. Eleonor lagi-lagi menyindir Rachel di bagian ini. Ia mengatakan bahwa tradisi berkumpul bersama dan membuat pangsit ini ada karena “we know to put our family first, instead of chasing one’s passion,

Budaya kolektivis memang mengutamakan kebersamaan, dalam konteks yang lebih kecil adalah keluarga. Sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat penganut budaya kolektivis, dalam film ini merujuk pada Tionghoa-Asia, apabila hampir setiap keputusan hidup akan mempertimbangkan atau dipertimbangkan oleh keluarga, termasuk persoalan cinta. Ini dibuktikan dengan dialog Eleonor pada Rachel saat kali pertama bertemu, “Your mother is so open-minded, not like here, where parents are obsessed in shaping the life of their children,”


Identitas yang Tumpang-Tindih

Matthew dalam Samovar, dkk. menyebut bahwa identitas adalah “how the self conceive of itself, and labels itself (bagaimana diri memahami dan menandai diri sendiri).” Setiap orang memiliki identitasnya tersendiri. Yang perlu digarisbawahi, identitas yang melekat pada seseorang tidak tunggal, melainkan jamak dan terkadang saling tumpang-tindih. 

Dalam film ini, Rachel membuktikannya dengan gamblang. Jika memandang identitas ras, Rachel dikenali sebagai ras Mongoloid. Jika melihat identitas etnis, Rachel adalah etnis Tionghoa. Jika menyorot identitas kewarganegaraan, Rachel adalah warga negara Amerika Serikat. Jika mengamati identitas gender, Rachel adalah perempuan. Jika menanyakan identitas profesi, Rachel adalah seorang dosen ekonomi. 

Meskipun jamak dan saling tumpang-tindih, namun sebenarnya identitas-identitas itu melebur. Pada saat yang sama Rachel adalah Mongoloid, sekaligus Tionghoa, sekaligus orang Amerika Serikat, sekaligus perempuan, dan sekaligus dosen. Yang membedakan, ada identitas yang ascribed (tidak bisa dipilih) seperti ras, etnis, dan jenis kelamis, ada juga identitas yang avowed (yang bisa dipilih) seperti pekerjaan. 


Pendidikan dan Status Sosial

Tidak ada lagi yang membuat Eleonor Young sedikit lebih respek pada Rachel kalau bukan karena pujian dari Ah Ma dan profesinya sebagai profesor. Walau secara ekonomi, Rachel tidak sekaya Nick, namun dengan statusnya sebagai profesro yang berpendidikan tinggi, secara tidak langsung mengangkat derajatnya. Bourdieu menyebut agar seseorang bisa diterima dan mendominasi dalam kehidupan sosial, seseorang harus memiliki kapital saat berinteraksi dengan orang lain. Menurutnya, kapital terdiri dari kapital ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. 

Keluarga Nick boleh jadi terpandang karena selain memiliki kapital ekonomi, keluarganya juga memiliki kapital simbolik, yaitu pengakuan. Bahkan menurut Peik Lin, keluarga Nick bukan hanya “rich” tapi “crazy rich”, bahkan sudah kaya sebelum Singapura berdiri. 

Rachel mungkin tidak sekaya Nick, tapi dengan pendidikan, ia punya kapital yang memberinya pengakuan sosial. Setidaknya, inilah yang membuatnya sedikit mendapat respek dari Eleonor. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sikap Eleonor jika tahu Rachel tidak punya kapital apa pun. 


Meski film ini menuai sejumlah kritik, menurut saya film ini tetap mengesankan jika diamati dari sudut pandang yang berbeda. Kritikan yang populer misalnya penggunaan kata "Asians" yang tidak menggambarkan "Asians" secara keseluruhan, malah terkesan lebih "Singaporean Chinese"; stereotype etnis Asia tertentu sebagai penjaga rumah dan asisten rumah tangga; peran Henry Golding (Nick Young) yang kurang percaya diri; dan kritikan lainnya, namun tetap saja film ini telah berhasil membuat saya jatuh cinta, tertawa terbahak-bahak, menontonnya dua kali, dan membuat saya kangen dengan perkataan mama saya karena logat bicara Hokien di film ini. 

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu