Belajar Agama Lain Takkan Meruntuhkan Keimananmu

Bulan purnama sidi masih bertengger di langit subuh kompleks Candi Borobudur ketika menjelang detik-detik Waisak tiga bulan lalu. Saya adalah satu dari ribuan orang yang duduk bersila di pelataran utama Candi Borobudur, saat momen istimewa itu.

Altar utama pada perayaan Waisak (11/5) di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. (Wirawan Perdana)


Di depan altar, para rohaniwan Buddha duduk menghadap umat, seraya mengumandangkan syair-syair suci untuk menyambut Waisak secara bergantian, menurut aliran masing-masing. Bhikkhu Theravada melafalkan paritta-paritta suci, sedangkan biksu dan biksuni Mahayana dan Tantrayana melantunkan sutra-sutra agung dengan khidmat. 

Namun ada suara dua orang yang duduk tepat di belakang saya, bercakap-cakap, dan mencuri perhatian kuping saya. Samar-samar saya mendengar mereka mendiskusikan agama Buddha dalam bahasa Inggris. Tentu saya semakin penasaran. Perlahan-lahan, saya melongok ke belakang. Sungguh terkejut saya begitu menyadari yang berdiskusi seputar agama Buddha itu adalah seorang pria bule dengan seorang wanita berhijab. 

Dari suaranya yang kurang dominan apabila dibandingkan lantunan syair suci dari altar, saya dapat menangkap bahwa mereka sedang membahas sosok Buddha di masa yang akan datang, yakni Buddha Metteya (bahasa Pali) atau Buddha Maitriya (bahasa Sanskerta). Wah, kompleks sekali diskusi mereka, batin saya dalam hati.

Hal yang membuat saya terkagum-kagum ialah si wanita berhijab terdengar sangat fasih menjelaskan agama Buddha kepada pria bule yang duduk di sebelahnya menggunakan bahasa Inggris.Wanita itu terdengar sangat paham agama Buddha, namun ia tetap setia pada agamanya. Hal ini dengan gamblang terlihat dari pakaiannya yang tertutup dan berhijab, serta dari tutur bahasanya yang lembut. 

Kemudian saya merenung dalam hati. Ternyata belajar agama lain memang tidak akan meruntuhkan keimanan kita, apabila kita punya fondasi dasar yang kuat. Saya sendiri misalnya. Dari TK hingga SMA, saya disekolahkan di sekolah swasta Katolik. Dan selama itu pula, saya diperkenalkan dengan agama Katolik. Saya cukup tahu beberapa kisah di dalam Alkitab, dan bahkan selalu  mengikuti misa awal tahun ajaran baru yang sudah menjadi ciri khas sekolah Katolik di kota saya. 

Rasa penasaran saya tentang agama semakin lama semakin berkecamuk. Duduk di bangku kuliah, saya mulai berkenalan dengan agama Islam. Apa yang sering muncul di teve tentang beberapa ormas Islam yang ekstrem, ternyata tidak saya jumpai ketika saya membaca buku biografi Nabi Muhammad. Yang saya temui selama membaca buku itu hanyalah kebijaksanaan, kedamaian, dan cinta kasih.

Saya lantas menemukan banyak sekali butir-butir kesamaan nilai-nilai universal pada agama-agama yang saya pelajari. Misalnya saja cinta kasih. Dalam agama Buddha, cinta kasih universal dikenal dengan sebutan metta. Di agama Katolik, istilah agape lebih akrab didengar. Umat Islam lebih familier dengan istilah rahmah. Makna ketiga istilah itu kurang lebih sama, yakni menebarkan welas asih kepada sesama, tanpa melihat perbedaan kelas sosial dan ekonomi. 

Belajar agama lain bukannya meruntuhkan keimanan kita pada agama sendiri. Sebaliknya, belajar agama lain justru meningkatkan keingintahuan dan semangat untuk menggali lebih jauh agama sendiri. Belajar agama lain membuatmu tidak fanatik. Belajar agama lain malah menumbuhkan spirit toleransi dan menambah khazanah pengetahuan. 

Hanya saja yang perlu diperhatikan, jangan sampai kita mencampuradukkan dogma dan akidah antara agama satu dengan agama lainnya. Bisa-bisa kita disangka menista dan divonis dua tahun penjara. 

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu