Cerpen Ramadan: Pijit Plus-Plus

Ada yang aneh dengan lelaki yang sedang bertelungkup di depannya ini. Biasanya setiap pelanggannya lebih memilih untuk mematikan lampu saat dipijat olehnya, namun lelaki yang satu ini tidak. 

Saat menyambut Bella di lobi apartemennya pun, lelaki yang satu ini hanya menyapanya ramah dan langsung mengajaknya menuju kamar apartemen, tanpa menggandeng tangan Bella. Bukankah ini sangat tidak wajar? Setiap pelanggan yang Bella temui biasanya langsung agresif sejak pertama kali bertemu. Mereka akan langsung merangkul tubuh Bella yang semok.  Tapi lelaki yang kontak WhatsApp-nya bernama Gibran ini sama sekali tidak menyentuhnya. 

Begitu tiba di kamar apertemen, lelaki yang Bella taksir lebih muda daripadanya ini hanya membuka oblongnya, memperlihatkan roti sobek di perutnya, lalu segara telangkup di ranjangnya. Sekilas Bella bisa melihat dengan jelas bulu dada Gibran yang cukup lebat, senada dengan wajah Arab yang dimilikinya.

“Sudah berapa lama kamu buka jasa massage?” tanya Gibran seraya menoleh ke arah Bella, menyadarkannya dari lamunan. 

“Lumayan lama sih, sudah sekitar tiga tahunan,” jawab Bella yang duduk di pinggir ranjang. Dari meja kecil di samping ranjang, Bella dapat melihat kartu pers yang diletakkan di sana. Oh, seorang jurnalis ternyata, pikir Bella.

“Wah, udah profesional dong,” celetuk Gibran.

Bella tersenyum. Jelas. Apa bila yang dimaksud Gibrad adalah ‘hal yang itu’, kelihaiannya tidak perlu diragukan lagi. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak pelanggan yang sudah dilayaninya. Pelanggan Bella tentu bukan sembarangan. Hanya orang-orang yang memiliki uang berlebih di dompetnya saja yang bisa memakai jasa Bella, sebab ia memasang tarif yang tinggi. 

Jemari Bella yang lentik memijat-mijat punggung Gibran dengan lembut. Ia dapat merasakan lekuk-lekuk otot Gibran. Imajinasinya pun mulai liar dan mengawang ke hal-hal lain. Tapi Gibran yang dipijat diam saja dan tidak bereaksi apa-apa. Pelanggan macam apa ini? tanya Bella dalam hati, sedikit kesal karena dari tadi ia tidak “diapa-apain”.

“Ngomong-ngomong, besok kamu puasa?” tanya Gibran tiba-tiba, memecah keheningan.

Pertanyaan Gibran menyentil hati Bella. Ia bahkan lupa kalau besok adalah hari pertama Ramadan. Dan… oh astaga, kapan terakhir kali ia puasa? Empat tahun yang lalu, kalau Bella tidak salah ingat — tepatnya sebelum ia menjadi seorang pemijat plus-plus

Dulu perempuan ini sempat menjadi dosen jurnalistik di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Namun sejak kejadian itu, Bella tak sudi lagi menjadi dosen. Ia diperkosa oleh dekan fakultasnya sendiri! Dan sejak itu, ia merasa pendidikan hanyalah bulu domba untuk menyelimuti serigala-serigala bejat. Dekannya yang sudah bergelar doktor itu misalnya. Serangkaian gelar panjangnya ternyata hanya muslihat menutupi syahwatnya. Skandal itu beredar cepat, entah bagaimana caranya, padahal Bella tidak pernah melaporkan kejadian itu kepada siapapun.

Sudah terlanjur kotor, begitu pikir Bella sehingga ia memilih menjadi pemijat plus-plus

“Bella?” tanya Gibran sekali lagi membuyarkan lamunannya.

“Oh, tidak. Aku tidak puasa besok,” 

“Lagi berhalangan?” 

Bella terdiam. Ada perasaan tidak nyaman menjalar di hatinya. Ia merasa pelanggannya ini terlalu religius. Bisa-bisa ia terbakar di sini. 

“Kamu tidak tahu kalau aku pemijat plus-plus? Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku ML dengan laki-laki lain yang ngaku dengan istri atau pacaranya ingin pijat rileksasi. Sudah tak terhitung lagi seberapa sering aku melayani syahwat mereka. Aku kotor, kamu tahu?” tiba-tiba saja kata-kata itu terlontar dari mulut Bella.

Gibran hanya terheran-heran. Ia tahu kontak WhatsApp Bella dari Alex, teman kerjanya. 

“Dia pemijat yang muantap polll…” begitu kata Alex padanya. Gibran tidak menyangka kalau Alex memberikannya kontak pemijat plus-plus

“Kenapa? Kamu kaget? Sekarang beri tahu, kamu hanya mau dipijat atau bagaimana?” tanya Bella frontal.

Gibran bangkit dari posisinya. Kaus yang tadi ia tanggalkan, dikenakannya lagi. Sekarang ia menghadap ke arah Bella.  

“Aku sudah tak ingin keduanya. Sekarang aku hanya akan membayar untuk bercerita. Bagaimana?” 

Bella hanya bergeming. 

“Kamu tahu, di hadapan Allah, kita semua sama, tidak ada yang lebih kotor atau lebih bersih,” ujar Gibran. 

“Dulu aku adalah seorang dosen jurnalisitik. Tapi aku diperkosa oleh dekanku sendiri. Aku sudah terlanjur kotor, kamu tahu?” mata Bella seketika buram karena air mata yang mulai bergulir.

Gibran menarik napas panjang. “Maaf, bukannya aku sok bijak dan ingin ikut campur. Mungkin kamu belum bisa memaafkan lelaki bejat yang memperkosamu, atau bahkan kamu belum bisa memaafkan dirimu sendiri. Tapi yang harus kamu tahu, Allah pasti akan memaafkan kamu jika kamu tulus memohon kepada-Nya,”

Air mata yang mulai menetes, ia seka dengan tangannya. Bella tertunduk. Mungkin yang dikatakan Gibran benar. Ia memang belum memaafkan lelaki bejat yang satu itu dan bahkan ia masih belum memaafkan dirinya sendiri. Ia terus-menerus berpikir bahwa ia kotor. 

***
Sajadah dan mukenah yang tergeletak di lemarinya itu sudah lama tidak ia keluarkan. Malam itu, satu malam sebelum Ramadan, Bella mengeluarkan sajadah dan mukenahnya. Setidaknya mukenah yang sudah tiga tahun tidak dikenakannya, tidak sekotor dirinya, begitu yang ada di kepala Bella. Setelah berwudu, ia mengenakan mukena putih yang dulu kerap dipakainya itu. Oh, begini rasanya setelah tiga tahun tidak mengenakan mukenah. 

Bella menghadap arah kiblat, lalu menunaikan kerinduannya setelah tiga tahun tidak salat. Usai salat, ia tumpahkan segala kegundahan hatinya, kekesalannya, dan rasa bersalahnya. Dengan air di pelupuk matanya, Bella bertekad akan berubah dan memaafkan dirinya. 

Besok akan menjadi hari pertamanya puasa setelah tiga tahun tidak. 

***
“Bro, bagaimana kemarin? Mantap?” tanya Alex jahil. Alex adalah reporter di stasiun televisi mereka bekerja, sedangkan Gibran adalah news anchor.

“Mantap, Bro. Tapi kemarin, gue yang mijitinnya. Plus-plus," balas Gibran tersenyum.

"Elu mijatin dia? Plus-plus?"

"Iya, gue mijatin hatinya and akhirnya dia sadar. Dan hari ini dia janji mau puasa Ramadan," timpal Gibran, membuat Alex terheran-heran.

“Hah? Maksud elu?”

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu