Nano-Nano di Novel Ayah

Harus diakui bahwa novel Andrea Hirata yang satu ini rasanya nano-nano. Pembaca akan merasa sendu sekaligus kocak, marah sekaligus geli, heran sekaligus penasaran. 

Di novelnya yang ini, Andrea bermain-main dengan karakter utama yang ia beri nama Sabari, yang tinggal di sebuah kampung kecil bernama Belantik di Belitung. Sebagaimana namanya, Sabari memang pemuda yang sabar meski harus berhadapan dengan hidup yang miris.

Sabari yang tidak percaya soal cinta, mendadak menarik ucapannya ketika masuk SMA. Semua bermula sejak lembar jawaban Sabari disontek Lena saat mereka sama-sama mengikuti ujian seleksi masuk SMA negeri di kampungnya. Hati Sabari berdebar kencang sebab baru kali itulah dirinya yang malang pertama kali mencicipi gejolak cinta. 

Lena, kembang desa idaman semua pria, tentu menolak cinta Sabari bahkan sebelum Sabari mengungkapkan perasaannya. Namun, penolakan demi penolakan Lena tidak membuat Sabari putus asa. Sabari tetap mencintai Lena, meski cintanya tidak berbalas. 

Lena kerap mencibir Sabari, tapi bagi Sabari yang jago pelajaran Bahasa Indonesia, cibiran Lena rasanya seperti puisi. Semakin ditolak, semakin Sabari mencintainya. Ketertarikannya pada Lena tidak berkurang meski ia mendengar Lena sudah berpacaran dengan pria lain. Bahkan Lena masih membuat Sabari tergila-gila sampai mereka lulus SMA. 

Cerita ternyata tidak sesederhana itu. Di tengah kegundahan hati Sabari yang setelah lulus SMA bekerja di pabrik batako Markoni, ayah Lena, sebuah insiden yang mengubah hidup Sabari terjadi. Lena hamil di luar nikah. Kejadian ini membuat keluarga Lena pontang-panting. Di tengah situasi itu, Sabari muncul menawarkan diri menjadi kambing hitamnya. Ia bersedia menikahi Lena. Keluarga Lena setuju dan mereka langsung menikah.

Tentu Sabari seolah sedang bermimpi. Berpacaran dengan Lena sudah bak pungguk merindukan bulan. Ia tidak tahu peribahasa apa lagi yang mampu melukiskan perasaan hatinya saat bisa menikah dengan Lena, walaupun dengan fakta Lena tetap tidak mencintainya. Lena bahkan membenci Sabari dan tak sudi menikah dengannya kalau bukan karena terpaksa. 

Hubungan rumah tangga Sabari dan Lena yang getir berubah menjadi berwarna saat bayi yang dikandung Lena lahir. Bayi itu Sabari beri nama Zorro. Bayi itu lucu dan menggemaskan.

Tapi sebuah insiden buruk lagi-lagi menimpa Sabari. Sabari tidak akan lupa saat itu, ketika ia sedang jalan-jalan dengan Zorro. Sebab momen itu menjadi momen terakhir Sabari bersama anak kesayangannya. Yang jelas, Sabari jadi gila gara-gara itu.

Apa yang terjadi dengan Zorro? Saya tidak akan membocorkannya di sini. Silakan Anda kuak sendiri. 

Tidak seperti serial Laskar Pelangi, di novelnya yang ini, Andrea Hirata mencoba bermain-main dengan alur. Saat pertama kali membaca bab-bab awal, pembaca akan menemukan seolah-olah ada dua cerita yang berbeda. Tapi dengan sisipan humor  dan gaya bahasanya, pembaca tetap bisa menikmati dua alur yang seolah-olah berbeda ini. Di bab pertengahan hingga akhir, barulah pembaca bisa menemukan sendiri benang merahnya. 


Tapi yang membuat saya sedikit menyayangkan novel ini adalah pemilihan judulnya. Jika bukan karena penulisnya adalah Andrea Hirata, saya jujur tidak tertarik membaca. Judulnya terlalu singkat dan tidak menggoda. Meski demikian, sensasi nano-nano yang disuguhkan buku ini berhasil membuat saya tidak menyesal membeli. 

Comments

Popular posts from this blog

Tata Ibadah dalam Agama Buddha

Resensi Buku: Four A Divergent Collection

Agama Sikh di Indonesia: Mengumpet di Balik Nama Hindu