Cerpen: Love Comes Late (Bagian 1)
Apik
gerakannya berpadu indah dengan alunan musik penyayat hati. Hanya manusia yang
tidak berhati saja yang tak takjub menyaksikan tarian indah nan memukau ini.
Dan Satria tidak termasuk ke kategori yang satu itu. Ia duduk di deretan kursi
baris ketiga dari depan. Tidak mau ia lewatkan satu manuver pun yang diciptakan
Atisha dan empat rekannya. Bulu kuduknya merinding seiring dengan lincahnya
gerakan harmonis grup balet itu.
Tidak
terasa, penampilan Atisha dan kawan-kawan begitu cepat berakhir. Jelas, di akhir
penampilannya, penonton yang terkagum-kagum lantas memberikan tepuk tangan yang
menggelegar. Satria salah satunya. Teman baiknya, sukses menampilkan yang
terbaik. Atisha dan kawan-kawan pun memberi hormat dan kembali ke belakang
panggung.
Tentu
saja dengan senyum yang tersungging lebar dan bangga di wajah Atisha dan
kawan-kawan.
***
Satria baru saja menyelesaikan
cerpennya. Dan sudah menjadi tugas sampingan Atisha sebagai pembaca pertamanya,
selain pekerjaan Atisha sebagai seorang penari balet. Anehnya, perempuan
berdarah Jawa itu tidak tahu mengapa setiap kali dibacanya cerpen-cerpen
Satria, bulu kuduknya selalu merinding. Hatinya seolah diselimuti rasa takjub,
membaca indahnya rangkaian kata sahabatnya, Satria. Atisha yakin, di luar sana,
orang-orang juga merasakan hal yang sama dengannya. Atisha yakin, di setiap
tulisan yang Satria racik, selalu ditaburi bumbu magis, membuatnya tidak sabar
membaca cerpen-cerpen racikan Satria lagi dan lagi.
Satria sendiri sangat mencintai
kata. Di sela-sela waktunya sebagai guru bahasa Indonesia di sebuah SMA di
Bandung, ia merangkap sebagai seorang penulis lepas sebuah surat kabar. Secara
rutin, Satria mengirimkan cerpen dan sesekali cerbung ke redaksi surat kabar. Lumayan untuk nambah penghasilan,
gumamnya selalu. Namun setiap kali ia menulis, Satria tidak pernah terfokus
pada jumlah uang yang akan diterimanya. Itu sebabnya di setiap tulisannya,
tercium aroma ketulusan. Tulisan-tulisan yang diasah oleh kecintaannya pada
bahasa.
***
Atisha tidak jago menulis seperti
Satria, tapi ia mampu menuliskan kagum dan senyum di hati setiap orang yang
melihatnya menari. Satria tidak mahir menari balet seperti Atisha, tapi jangan
diragukan kemahirannya menari dalam dunia kata-kata, menciptakan koreografi
indah untuk setiap kisah yang ditulisnya. Mereka berdua saling mengidolakan.
Atisha
cantik, Satria tampan. Atisha pintar, Satria cerdas. Atisha jago
menari, Satria
mantap berpuisi. Mereka jelas
sangatlah cocok bila tidak ada yang menyadari suatu
hal: mereka berdua terjalin dalam ikatan sahabat sehidup semati.
“Atisha, masih ingatkah kau akan
tantangan kita? Kau dan aku akan mengenalkan pacar kita masing-masing pada usia
duapuluh empat tahun. Kau ingat?” tanya Satria bersemangat, setelah meneguk
secangkir kopi di hadapannya.
“Aku ingat jelas. Dan kuharap kau
tidak lupa berapa usia kita sekarang.” balas Atisha sambil terkekeh.
“Duapuluh tiga. Usia yang cukup
matang untuk berpacaran, bukan? Tapi anehnya kita sama-sama belum memiliki
pacar sejak kita lulus SMA,” tanggap Satria, berpura-pura merenung.
“Hei, Pak Guru, ini bukan kelas
teater, jangan berakting sok sedih begitu, kenapa?” Atisha menampar pelan pipi
Satria. “Aku yakin, aku bisa merealisasikan tantangan itu!” lanjut Atisha.
“Seriuskah kau? Bisa kuprediksikan, pacarmu nanti adalah
orang yang rabun,”
Atisha
terdiam sejenak, mencerna kalimat Satria. “Kurang ajar kamu, Sat! Emang kamu
itu Bang Sat! Hahaha… pacarku tentunya akan sangat beruntung bisa memiliki perempuan
secantik diriku,” mereka berdua tertawa bersama, kemudian menyesap minuman
mereka masing-masing.
“Jika kau bisa, mengapa aku tidak?” timbal Satria.
***
Alunan melodi piano yang begitu lembut menemani
Atisha dan kawan-kawannya yang sedang berlatih di sanggar seni biasa. Atisha
mengangkat kaki kirinya hingga tegak lurus dengan kaki kanannya, memutarkan
badannya searah jarum jam. Ia menyatu dengan alunan musik yang mengirinya.
Selama ini ia menari, baru musik yang dimainkan kali ini yang mampu membuatnya
terkesima, hanyut bersamanya lewat bentuk tarian indah. Ia belum pernah
merasakan perasaan ini sebelumnya, kecuali ketika Atisha membaca cerpen atau
puisi Satria. Hatinya terasa begitu hangat, tidak tahu mengapa.
“Mantap!
Tarian yang indah! Luar biasa!” tiba-tiba Atisha mendengar suara berat sedang
mengarah ke dirinya, ketika ia sedang melepaskan sepatu baletnya.
Atisha
tersenyum kecil. “Terima kasih, … ehm kamu yang tadi mainkan pianonya, kan?”
“Iya,
boleh saya duduk di sampingmu?” tanya pria itu sedikit ragu.
“Oh,
tentu saja!” Atisha menjawab dengan lembut.
“Perkenalkan,
nama saya Arjuna Prajna Aditya. Panggil saja Arjuna. Saya pianis baru di
sanggar seni ini.” Arjuna mengulurkan tangannya yang disambut ramah oleh
Atisha.
“Namaku
Atisha Metta Ningsih. Kamu boleh panggil Atisha. Senang berkenalan denganmu.”
Mereka berjabat tangan. Mata mereka saling menatap, bibir mereka saling
menyunggingkan senyum, dan ini semua membuat pipi Atisha memerah. Oh, perasaan
apa ini?
***
Langkah Satria begitu mantap. Sambil membawa
beberapa buku di tangannya, ia memasuki kelas yang akan diajarinya: kelas 12
IPA-1. Kumisnya kali ini sudah dicukur rapi, sehingga wajahnya terlihat tak
jauh berbeda dengan murid-muridnya.
“Selamat
pagi, semuanya!” sapa Satria yang disahut balik oleh murid-muridnya.
“Baik,
kali ini kita akan membahas tentang puisi. Bisa kalian lihat di buku cetak
kalian, halaman 102. Sebelum saya memberikan penjelasan, ada yang bisa
membacakan sebuah contoh puisi? Karangan siapa saja, bebas.”
Tidak
ada yang mengangkat tangan, kecuali perempuan yang duduk di pojok kiri depan, Syafira.
Kulitnya putih, berwajah cantik, dan terlihat sangat natural.
“Iya,
silakan, Syafira. Sukarelawan kita rupanya seorang perempuan, cantik pula.
Ups…” ujarnya sambil tersenyum disambut teriakan jahil murid-muridnya.
“Ah,
bisa aja deh, … Pak,” respons Syafira yang merasa sedikit aneh memanggil Satria
yang masih sangat muda dengan sebutan “Pak”. Ia maju ke depan kelas, membacakan
sebuah puisi yang tampaknya sudah ia ingat.
“Cinta Hadir Begitu Dekat. Karya Wirawan
Perdana. Kopi pahit sekalipun akan sontak manis bila ku bersamamu. Satu ton
gula pun takkan mungkin menandingi pesonamu. Bahkan pelangi pun takkan mungkin
menandingi indahnya rupamu. Kau hadir begitu dekat, begitu mudah diraih. Sederhana,
bening seperti buih. Sejak degub napas ini semakin kencang karna hadirnya
dirimu, aku tahu suatu hal yang menyembuhkan pilu. Sebab suara hati takkan
berdusta, menyatakan kau adalah cinta. Sebab hati takkan mungkin salah, memilih
kau sebagai panah, yang telah mengenaiku beracun cinta. Cinta yang hadir begitu
dekat. Semakin lama menjadi pekat…” tidak ada yang berkutik selama Syafira
membacakan puisinya, termasuk Satria.
Ia
melongo, heran. Apakah ia salah lihat bahwa sorot mata Syafira terus-terusan
memerhatikannya? Apakah mungkin puisi cinta sengaja dibacakan Syafira untuk
dirinya? Logika kecil Satria berkata:
tidak, jangan bodoh, puisi itu bukan untukmu. Kaulah gurunya, sebab itu ia
terus menatapmu. Namun entah mengapa batin kecilnya berkata lain.
“Oke,
bagus sekali, Syafira. Tidak hanya orangnya yang cantik, puisinya pun juga. Beri
tepuk tangan dulu untuk Syafira!” Satria mempersilakan Syafira kembali ke
tempat duduknya. “Baik, di dalam puisi, kita akan kerap menjumpai majas.
Sekarang saya akan menjelaskan tentang majas,” Satria mulai berceloteh panjang
tentang majas. Sesekali, dipandangnya Syafira, yang rupanya juga tengah
memerhatikannya. Sorot mata mereka bertemu. Membuat Syafira mendadak malu.
Apakah ini bisa dinamakan cinta? Mungkin bisa… apabila mereka bukanlah
berstatus murid dan guru.
***
Hari
pengumuman kelulusan sekolah
Tangan Syafira sedikit gemetar menerima amplop putih
itu. Hatinya berdegub kencang, penasaran akan hasil yang didapatkannya.
Sementara teman-teman lainnya sudah berteriak histeris karena kelulusan, Syafira
masih termenung. Perlahan, dibukanya amplop itu. Matanya saksama membaca
kalimat-kalimat yang tercetak, hingga di akhir kalimat, meletuslah pompa di
hatinya karena terlalu bahagia. Selamat,
Anda dinyatakan lulus dari bangku SMA.
Rasa
kagetnya semakin menjadi-jadi, sebab dari belakang, sepasang tangan yang kasar
dan berotot menggenggam pergelangan tangannya. Syafira berbalik dan menghadap
wajah orang itu. Pak Satria rupanya. Syafira pun semakin senang.
“Pak…
aku lulus!!!!” Syafira kegirangan, tidak bisa menyembunyikan ekspresi
senangnya. Refleks, ia memeluk tubuh Satria. Menenggelamkan mukanya dalam
pelukan guru kesayangannya itu.
“Selamat!
Saya turut senang! Kamu sudah bukan siswa SMA lagi. Dan kamu tahu apa artinya?”
Satria bertanya, perlahan mencoba melepaskan pelukan Syafira. Bagaimana jadinya
kalau dilihat siswa yang lain?
Syafira
menggeleng. “Maksud Bapak?” tanyanya malu.
Satria
tidak langsung menjawab. Ia menarik pelan Syafira ke tempat yang lebih sepi.
“Artinya kita tidak perlu malu-malu lagi untuk saling menyatakan cinta,” ujar
Satria pelan, sebagaimana pelannya wajah Satria yang mendekati wajah Syafira,
mempertemukan bibir mereka dalam satu kecupan.
***
Ulang
tahun Atisha, setahun kemudian.
Senyuman Atisha menemani malam indahnya, merayakan
ulang tahunnya yang ke-24. Ia yang berbalut gaun simpel namun elegan itu,
berdiri di panggung bersama keluarga dan seorang pria. Pria itu tampak gagah dan
tampan, sangat serasi dengan Atisha yang cantik dan manis. Pria itulah yang
kini menjadi pelabuhan hati Atisha. Pria itulah ksatria yang menembakkan panah
asmara ke hati Atisha, sebab pria itu adalah Arjuna.
Atisha
merangkapkan tangan, berdoa sebelum ia meniupkan lilin ulang tahunnya.
Tangannya yang lentik, dipandu oleh Arjuna memotong kue ulang tahunnya. Maka
resmilah Atisha berumur duapuluh lima tahun. Dan resmi pulalah dirinya
menyanggupi tantangan sahabatnya, Satria.
Dari
kejauhan, Atisha menangkap sosok orang yang dari tadi dicarinya. Satria. Sudah
lama Atisha tidak melihat batang hidung pria itu. Sudah lama pula Atisha tidak
membaca cerpen yang diracik Satria. Melihat Satria hadir di acara ulang
tahunnya, Atisha sudah sangat senang.
Kini Satria tampah lebih tampan
daripada biasanya. Kumisnya yang selalu dicukurnya, sekarang dibiarkan tumbuh.
Dan ada satu yang juga membuat Atisha kaget. Siapa wanita yang kini
mendampinginya?
Sekarang, Atisha tidak tahu,
perlahan hatinya seolah tertimpa beban yang begitu berat. Sesak. Napasnya juga
tidak lega. Atisha benar-benar tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya.
***
Bersambung…
Comments
Post a Comment