Resensi Buku: Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh
Judul Buku : Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh
Pengarang : Dewi Lestari (Dee)
Genre : Sastra; Romansa
Penerbit : Penerbit Bentang
Jumlah
Halaman : 316 halaman
Semua bermula dari
pertemuan singkat antara Dimas dan Reuben di Georgetown, Washington, D. C.
tepat di bawah Wisconsin Avenue. Dan pertemuan singkat itu menumbuhkan benih
cinta di antara dua lelaki muda yang masih berkuliah ini. Pertemuan antara seorang mahasiswa sastra dan
mahasiswa kedokteran ini akhirnya menimbulkan hasrat mereka untuk menciptakan
sebuah karya, sebuah kisah, yang mampu membantu menjembatani segala macam
percabangan sains. Sebuah roman yang menggabungkan sastra dan sains menjadi
satu. Sebuah masterpiece.
Sepuluh tahun berlalu, dan kini
saatnya mereka menunaikan hasrat mereka. Menunaikan ikrar mereka untuk merajut
kisah agung. Mereka menentukan konsep cerita yang kontrovesial dan memiliki
pertentangan nilai moral dan sosial. Mereka menentukan tokoh, watak, plot, dan
sudut pandang. Persis seperti langkah-langkah mengarang dalam pelajaran Bahasa
Indonesia. Untuk sementara waktu, Dimas dan Reuben menamai tokoh-tokoh mereka
dengan: Kesatria untuk tokoh utama pria, Putri untuk tokoh utama wanita, dan
Bintang Jatuh untuk tritagonis.
Kesatria
adalah eksekutif muda yang mapan namun belum memiliki pendamping hidup. Putri
adalah wanita karir muda berprofesi sebagai seorang jurnalis merangkap sebagai
seorang pemimpin redaksi. Sedangkan Bintang Jatuh adalah model papan atas yang
memiliki profesi sampingan sebagai seorang pelacur bintang lima – yang hanya
mau menerima bayaran bertarif dollar.
Kendati demikian, Reuben dan Dimas menyulap Bintang Jatuh sebagai sosok yang
cerdas dan sangat sarkasme. Saking cerdasnya, Bintang Jatuh tidak rela menjual
pemikirannya walau dibayar mahal, ia lebih rela menjual tubuhnya.
Tanpa
Dimas dan Reuben sadari, di detik yang bersamaan, di dimensi yang bersamaan,
kisah yang mereka karang, paralel dengan kehidupan nyata tokoh bernama Ferre,
seorang eksekutif muda sebuah perusahaan. Suatu hari, Ferre mendapat wawancara
dari seorang pemimpin redaksi majalah wanita, bernama Rana. Wawancara formal
itu pada akhirnya berujung pada obrolan hangat seputar kehidupan pribadi. Ferre
sangat kecewa sebetulnya ketika mengetahui bahwa Rana telah menikah. Namun
Ferre belum tahu bahwa Rana tidak pernah nyaman menikah dengan suaminya. Apakah
karena hal itu pula yang membuat Ferre yakin untuk tetap berbagi cinta dengan
Rana? Buktinya, setelah wawancara itu, mengapa Ferre dan Rana jadi lebih sering
bersama? Mengapa Rana selalu merasa nyaman apabila bersama Ferre daripada
bersama suaminya? Dan mengapa Rana selalu mencari-cari alasan untuk bertemu
dengan Ferre, sang kesatrianya?
Kehidupan
Ferre dan Rana adalah persis seperti kisah yang dikarang Dimas dan Reuben
dengan menggunakan nama Kesatria dan Putri. Adegan demi adegan terjadi secara
serempak di detik yang sama, tanpa diketahui Dimas atau pun Reuben. Begitu pula
dengan Ferre dan Rana yang tidak tahu kehidupan mereka persis dan paralel
dengan cerita yang dikarang pasangan Dimas dan Reuben.
Ferre
sangat ingin menjadi seorang kesatria ketika diwawancarai Rana. Ferre berkata,
ia terinspirasi dari dongeng klasik yang pernama dibacanya, berjudul Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.
Lantas apa hubungannya dongeng klasik itu dengan kehidupan nyata tokoh Ferre
dan Rana? Lalu mengapa Dimas dan Reuben mempunyai firasat bahwa cerita mereka
seolah-olah nyata? Mengapa pula Dimas dan Reuben bisa dihubungi oleh sebuah email bernama Supernova, yang juga
merupakan salah satu email yang
mereka karang di cerita mereka? Ada hubungan apa ini? Cari tahu jawabannya
dengan membaca novel Supernova edisi Kesatria,
Putri, dan Bintang Jatuh.
Sekilas
informasi, novel Supernova terdiri
dari lima episode. Episode Kesatria,
Putri, dan Bintang Jatuh adalah episode pertamanya. Kepiawaian Dewi Lestari
dalam meracik novel ini membuatnya dikategorikan menjadi sastrawan angkatan
2000-an. Bahkan episode Supernova
pertama ini, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan sudah difilmkan.
“Salah satu kesegaran baru yang muncul dalam sastra Indonesia. Penelusuran
nilai lewat sains, spiritualitas, dan percintaan yang cerdas, unik, dan
mengguncang.” ungkap Taufik Ismail, seorang penyair dan sastrawan Indonesia
angkatan 60-an.
Bacalah
buku ini, dan dapatkan sensasi baru membaca buku yang meleburkan sains dan
sastra; fiksi dan nonfiksi.
***
Resentator: Wirawan Perdana
“Kehancuranmu
adalah awal kesadaranmu” – Bintang Jatuh
“Kau
hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti.
Namun, aku terus di sini. Mencintaimu,”
“Atau
ajarkan aku menjadi penipu, apabila ternyata kau merasakan sakit itu dalam
tawamu,” – Kesatria.
Comments
Post a Comment